Mita saat ini berada di kediaman Hiro. Wanita itu datang berkunjung dengan alasan ingin menjenguk Elina.
Kedatangan Elina tentu saja tidak disambut baik oleh Hiro. Hiro takut Elina tidak nyaman dengan kehadiran Mita. Namun, karena mamanya lah, wanita yang merupakan sahabatnya bisa duduk di ruang tamu rumahnya.
Hiro duduk di depan Mita dengan dengan kaki kanan bertumpu pada kaki kiri. Sesekali pria itu menghela napas berat menatap tajam pada sosok mamanya dan Mita yang berbincang dengan asyik sejak tadi.
Hiro masih berupaya untuk mengusir Mita pergi dari rumahnya. Hiro tidak ingin dengan kehadiran Mita, hubungannya dengan sang istri semakin renggang.
"Kamu tidak berniat untuk pulang ke rumah, Mita?" Disindir dengan halus tidak mempan, membuat Hiro akhirnya berkata dengan terang-terangan.
Kedua wanita yang sejak tadi asyik berbincang mengalihkan tatapan mereka pada Hiro. Jika Mita tersenyum tidak enak, maka Hana justru menatap putranya dengan tatapan tajam.
"Hiro, Mita di sini adalah tamu. Sopan sekali kamu mengusir tamu secara terang-terangan," ujar Hana menatap putranya tajam.
"Ma, tamu hanya duduk beberapa menit di dalam rumah. Itupun kalau tuan rumah tidak keberatan." Hiro menatap mamanya datar. "Sementara Mita sudah lebih dari 1 jam duduk di ruang tamu rumahku. Jelas aja aku, sebagai pemilik rumah risih dengan kehadirannya," katanya terang-terangan.
"Mama yang meminta agar Mita menemani Mama mengobrol. Anggap saja Mama tuan rumahnya."
"Tapi mama bukan tuan rumah di sini. Aku pemilik rumahnya," kata Hiro tegas.
Dia belum mati tapi mamanya sudah menganggap rumah ini adalah rumah miliknya sendiri. Sementara Hiro membeli rumah ini hasil jerih payahnya dan tidak dibantu sepeserpun uang oleh keluarganya.
"Hiro, Mama ini mama kamu. Rumah kamu jelas rumah Mama juga."
"Tidak, Ma. Rumahku adalah rumah istriku. Mama punya rumah sendiri," balas Hiro menatap Hana. "Mita, kamu bisa langsung pulang." Hiro bangkit dari duduknya berniat untuk masuk ke kamar. Pria itu bersiap melangkah namun ia harus menghentikan gerakannya ketika mendengar suara Hana.
"Hiro, Mita datang kemari naik taksi. Kamu bisa antar dia pulang."
"Mama sudah tahu Mita datang kemari naik taksi. Berarti dia pulang juga harus naik taksi." Hiro menjawab acuh penyataan mamanya. Pria itu segera melangkah masuk menuju kamarnya untuk menemui sang istri yang sedang duduk menghadap televisi dalam kamar mereka.
Acara yang ditayangkan televisi tersebut merupakan acara musik. Hiro segera duduk di samping istrinya kemudian mengusap kepalanya dengan lembut.
"Mita sudah aku usir supaya dia pulang," lapornya.
"Terus? Harusnya kamu menemani dia, seperti biasa," sahut Elina acuh.
"Tidak, Sayang. aku tidak akan pernah mau membagi perhatianku lagi dengan wanita lain. Tidak akan pernah," tandas Hiro tegas. Pria itu menggenggam tangan Elina dan mengecupnya sebentar.
Elina sendiri hanya tersenyum sinis. Ia masih ragu dengan semua ucapan Hiro.
"Aku akan melihat." Elina bergumam dengan nada datarnya.
Sementara Hiro hanya bisa menghela napas berat melihat sikap acuh tak acuh istrinya yang sudah ia kecewakan.
Sore harinya Hiro sengaja membawa Elina untuk berkeliling kompleks perumahan tempat mereka tinggal.
Tujuannya adalah ke taman yang berada tak jauh dari rumah. Sesampainya di taman sudah terlihat ramai oleh anak-anak yang bermain dan orang tua yang mengawasi.
Hiro mendorong kursi roda yang diduduki Elina sambil bercerita tentang suasana tempat mereka saat ini berada dengan detail.
Hiro bahkan menyebutkan warna-warna pakaian orang-orang yang ia lihat dan sedang ia ceritakan.
Hiro kemudian duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah lapangan kecil di mana terdapat anak-anak sedang bermain bola.
"Kita duduk di sini aja ya, Sayang. Lihat, anak-anak sedang bermain bola. Bola mereka berwarna merah campur kuning, dan juga biru. Warna baju anak-anak juga macam-macam. Ada yang memakai warna merah, putih, biru, hitam, kuning."
Hiro dengan rinci menyebutkan warna baju yang dikenakan anak-anak tersebut. Bahkan, perkiraan umur anak-anak tersebut juga disebutkan oleh Hiro.
Anggap saja Hiro adalah mata dan kaki untuk istrinya, Elina.
"Kamu senang?" Hiro menggenggam tangan istrinya dan menatapnya lekat.
"Hm." Elina mengangguk kepalanya. Wanita itu bahkan mengumbar senyumnya hingga membuat Hiro terpaku. ini adalah senyum pertama yang ia lihat semenjak istrinya keluar dari rumah sakit. Hiro merasa senang bukan main, hingga senyum Elina tanpa sadar menyebar pada Hiro.
"Aku, akan melakukan apa pun agar bisa membuat kamu bahagia. Aku janji, Sayang." Hiro meremas tangan Elina pelan. "Kehilangan kamu adalah mimpi burukku. Aku tidak akan pernah mengulanginya lagi."
Senyum Elina menyusut ketika mendengar janji yang diucapkan oleh Hiro. Ragu, itu adalah perasaan yang dirasakan oleh Elina saat mendengar ucapan suaminya.
Wanita itu kemudian berujar pelan, "tapi aku tidak yakin, Mas."
"Kenapa tidak yakin, Sayang?" Hiro menatap Elina dengan raut wajah sendu.
"Waktu aku sehat saja, Mas mengabaikan keberadaanku. Lebih mementingkan keadaan sahabat Mas dan anaknya. Maka sekarang setelah aku seperti ini--" Elina menghela napas berat. "Aku tidak pernah lagi berharap akan perhatian Mas lagi. Karena sekarang, aku adalah wanita cacat."
"Sssst. Sayang, jangan berkata seperti itu. Kamu adalah wanita sempurna. Sangat sempurna." Hiro meletakkan telunjuknya di bibir Elina. "Jangan pernah bilang seperti itu lagi. Mas benar-benar hancur."
Hiro menunduk tanpa sadar ia menjatuhkan air matanya hingga tetesan air mata jatuh mengenai punggung tangan Elina.
"Hujan, Mas?" Elina bertanya dengan suara lirih. Namun, akhirnya ia sadar jika ini bukan merupakan air hujan, tapi air mata suaminya sendiri.
Tangan Elina bergerak pelan, kemudian merambah kepala Hiro hingga ia hanya bisa menyentuh wajah sang suami yang kini sudah basah.
"Aku mau kamu menjadi Elina yang kuat. Aku mau kamu menjadi Elina yang tetap peduli dan sayang sama aku. Aku mau kamu tetap menjadi Elina-ku seperti dulu." Hiro mengungkapkan isi hatinya. "Aku tidak mau kamu menjauh seperti ini, Sayang. Kamu ada di dekatku, tapi mengapa aku merasa kamu terlalu jauh untuk aku gapai? Kenapa, Sayang? Tolong, kasih aku kesempatan satu kali lagi, untuk mengulang semuanya dari awal. Aku janji tidak akan mengulangi kesalahan yang lain."
Hiro menggenggam tangan Elina erat. Pria itu kemudian memeluk istrinya dan menumpahkan tangisnya di bahu sang istri. Hiro tidak peduli jika ada yang menonton aksinya. Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya diacuhkan oleh istri sendiri.
Hiro sudah merasakan sakitnya Elina ketika ia abaikan. Hiro sudah menerima hukumannya sendiri.
Elina membalas pelukan Hiro dan menepuk pundak suaminya agar tenang. Jujur saja Elina juga merasa hancur ketika mendengar semua ucapan Hiro. Elina benar-benar tidak tega untuk terus membuat suaminya hancur.
"Aku kasih kamu satu kali kesempatan, Mas. Kalau kamu ingkar, tolong, urus surat perceraian kita. Aku tidak ingin berbagi suami dengan wanita lain. Apalagi berbagi perhatian. Di dunia ini tidak ada wanita yang ingin suaminya membagi perhatian dengan wanita lain. Itu sakit, Mas."
Nyatanya, perasaan wanita itu lemah. Meski bertekad untuk kuat, akan tetap melemah ketika suami yang menyakiti terus meminta maaf dengan tulus. Mungkin ini kesempatan terakhir yang Elina berikan pada Hiro. Jika pria itu masih membagi perhatiannya dengan wanita lain, jalan satu-satunya adalah perpisahan.
Anggap saja Elina adalah wanita egois karena tidak ingin suami sendiri membagi perhatian dengan wanita lain. Anggap saja Elina tidak punya hati karena nyatanya, perasaan ini tidak sekuat karang yang akan tetap berdiri kokoh meski sering tersapu ombak. Sama seperti hatinya, meski ingin terlihat kuat dan tegar, namun nyatanya, ia tetap tumbang juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
Ficção GeralMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...