"Apakah ibu yakin?"
Dokter Ani adalah dokter kandungan yang memeriksa keadaan Rima beberapa minggu terakhir.
Wanita paruh baya itu menatap Rima dengan tatapan tak terbaca, lalu beralih menatap berkas-berkas yang sudah ditandatangani oleh wanita hamil tersebut.
"Saya sangat yakin, Dok. Lagipula, saya tahu umur saya tidak akan lama lagi. Anggap saja ini sebagai balas jasa saya untuk sahabat saya yang sudah mau merawat anak-anak saya." Rima tersenyum sambil mengusap perut buncitnya.
Wanita itu, Rima, sudah melewati banyak cobaan selama beberapa tahun ini. jujur saja jika Tuhan mencabut nyawanya, Rima sudah siap karena tidak ada lagi hal yang harus ia kerjakan di dunia ini.
Rima sudah mempersiapkan semuanya. Semua bekal untuk anak-anaknya dan masa depan mereka. Rima mempercayai Elina bisa menjaga putra-putrinya kelak. Mengenal Elina selama beberapa tahun, Rima yakin anak-anaknya pasti akan menjadi orang yang sukses dan berguna di masa depan.
Tidak hanya itu, anak-anaknya akan mendapat kasih sayang lengkap dari seorang ibu yang menyayangi mereka.
Jika anak-anaknya tetap bertahan bersamanya atau berpencar karena terpisah, maka Rima tidak akan tenang.
"Baiklah kalau itu sudah keputusan ibu." Dokter Ani kemudian menyimpan berkas yang sudah ditandatangani Rima. Setelah itu ia mulai memberikan wejangan untuk wanita hamil besar itu agar menjaga pola makan dan minum vitamin yang sudah diberikan.
Setelah dari dokter kandungan, Rima melangkah keluar dengan santai. Wanita itu berniat untuk langsung pulang ke rumah Hiro dan beristirahat di rumah karena merasa tubuhnya sudah tidak enak.
Langkah Rima terhenti ketika melihat sosok yang sudah ia kenali cukup lama.
Wanita itu kemudian melangkah mengikuti sosok tersebut tanpa diketahui. Sosok yang tak lain adalah Hiro kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan hingga membuat Rima penasaran siapa sosok yang dikunjungi oleh Hiro.
"Ma, sudah berapa kali aku katakan, jangan pernah mengganggu aku lagi dengan hal remeh temeh seperti ini."
"Hiro, hal remeh temeh apa maksud kamu? Ini adalah Mita, istri kamu juga. Saat ini dia sedang sakit. Apa kamu tidak punya hati mengabaikan istrimu sendiri yang sedang sakit?"
"Aku punya hati, Ma. Tapi hatiku untuk Elina, bukan untuk Mita. Harus berapa kali aku katakan?"
Suara Hiro terdengar frustrasi. Pria itu kemudian duduk di sebuah sofa tak jauh dari ranjang tempat Mita terbaring.
"Kesepakatannya adalah aku hanya menikahi Mita. Kalian menyanggupinya. Tapi kenapa sekarang kalian protes hanya karena aku mengabaikannya?"
"Tapi Mita dan Monik juga tanggung jawab kamu, Hiro. Anggap saja kesepakatan itu tidak pernah dibuat," balas Hana. Hal tersebut tentu saja memicu kemarahan Hiro. Pria itu bangkit berdiri dan menatap tajam mamanya.
"Ma!"
"Apa? Kamu berani berteriak pada mama? Mama ini mama kamu, Hiro. Bukan orang lain," ujar Hana menatap putranya tajam. "Setidaknya beri perhatian pada Mita. Bahkan, Monik mengeluh karena kamu tidak pernah memberi perhatian padanya. Ayah macam apa kamu?"
"Aku bukan ayah Monik, Ma. Kenapa Mama tidak mengerti juga?"
"Kamu ayahnya, Hiro. Kamu menikahi Mita 2 bulan yang lalu itu pertanda jika Monik juga anakmu. Meskipun anak tiri."
Rima membuka pintu kamar rawat dimana Hiro berada. Hal tersebut tentu saja membuat Hiro terbelalak terkejut dengan kehadiran Rima. Sementara Mita dan Hana hanya menatap Rima dengan tatapan biasa karena mereka tidak mengenali sosok Rima.
"Kamu sudah dengar sendiri, Elina? Bagaimana menurutmu?" Rima berbicara melalui ponsel yang menyala sejak tadi. Wanita itu kemudian tersenyum miring menatap Hiro yang sudah pucat di tempat.
"El?"
Tidak ada sahutan dari Elina membuat Rima menatap layar ponselnya yang masih terhubung panggilan pada Elina.
"Aku matikan sambungannya." Elina segera mematikan sambungan telepon. Suara wanita itu terdengar bergetar membuat Rima yakin jika saat ini Elina sedang menahan tangis.
Rima memang sengaja menghubungi Elina lewat telepon untuk mendengar percakapan antara Hiro dengan mamanya. Wanita itu ingin Elina mendengarnya dan mengetahui langsung dari mulut suaminya.
"Ternyata kamu lemah iman juga, Hiro," cibir Rima. Tatapan Rima kemudian beralih pada Mita yang terbaring di tempat tidur. "Sudah sakit-sakitan tapi masih mau berbuat dosa dengan menyakiti hati perempuan lain. Kalian berdua memang bukan perempuan baik-baik. Bukannya mengumpul amal, tapi justru menumpuk dosa."
Rima mengibaskan tangannya kemudian berbalik pergi meninggalkan ketiga manusia yang terdiam ditempat.
Sadar akan apa yang harus ia lakukan, Hiro segera bergegas keluar berniat untuk pulang ke rumah dan menjelaskan semuanya pada Elina.
"Hiro, mau ke mana kamu? Ini Mita sedang sakit. Kamu harus menjaganya karena mama mau pulang."
"Urusan Mita bukan urusanku lagi." Ekspresi wajah Hiro mengeras menatap mamanya. "Kalau sampai ada apa-apa dengan rumah tanggaku, Aku tidak akan pernah memaafkan mama, seumur hidupku."
Setelah itu Hiro berbalik pergi tanpa menoleh ke belakang. Tujuannya kali ini adalah rumah. Sebenarnya tadi saat makan siang, Hiro berniat untuk pulang ke rumahnya. Namun, di pertengahan jalan mamanya menghubunginya dan meminta untuk datang ke rumah sakit. Terjadi perdebatan hingga membuat Hiro mengalah untuk mengunjungi mamanya di rumah sakit.
Sementara Elina sendiri yang sudah mematikan sambungan telepon, terduduk lemas disofa ruang tengah tempatnya saat ini berada.
Hal tersebut sontak saja membuat Aina yang melihatnya mendekati Elina dan menatapnya cemas.
"Mbak, kenapa?" Aina bertanya lalu mengambil ponsel di tangan Elina dan melihat sambungan sudah terputus.
"Mbak?" Aina berjongkok di depan Elina. Wanita itu menggenggam tangan Elina yang sudah dingin sementara ekspresi wajah wanita itu sudah terlihat pucat. Hal tersebut membuat kekhawatiran Aina semakin bertambah.
"Saya tidak apa-apa." Elina bangkit dari duduknya. "Saya minta tolong untuk jaga anak-anak. Saya mau istirahat dulu di kamar," ucap Elina dengan suara parau. Wanita itu menahan tangis dan sesak di dada secara bersamaan hingga membuatnya kurang fokus.
"Saya antar Mbak ke kamar." Tanpa kata, Aina segera menuntun Elina menuju kamar mereka.
Setelah Elina masuk ke dalam kamar dan mendudukkan dirinya di atas tempat tidur, barulah Aina melangkah keluar.
Terdengar suara pintu kamar tertutup membuat Elina segera melepaskan tangisnya. Wanita itu menahan sesak mengetahui fakta jika suaminya ternyata sudah menikah lagi dengan wanita yang disebut-sebut sebagai sahabat suaminya.
Elina tentu saja mendengar semua percakapan mereka. Elina tidak habis pikir mengapa Hiro bisa menghianati kepercayaan seperti ini.
Elina memukul dadanya yang terasa sesak. Wanita itu berusaha menghilangkan semua rasa tak mengenakkan di hatinya. Namun, apa yang dilakukannya sia-sia karena rasa sesak dan sakit di dadanya tidak hilang melainkan bertambah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...