"Hiro, ke rumah papa sekarang. Ada yang mau papa luruskan."
Hiro mengernyit ketika mendapat telepon dari papanya. Tidak biasanya pria paruh baya yang biasa sibuk itu menghubunginya dan meminta langsung datang ke rumah.
"Ada apa, Pa?"
"Datang saja sekalian bawa Elina. Masalah kamu harus diselesaikan hari ini juga."
Tanpa menunggu respon apa pun dari Hiro, Hari langsung mematikan sambungan telepon.
Ini sudah 4 hari semenjak kejadian di mana Helia akan menyelesaikan masalah Hiro dalam waktu 1 minggu.
Apa mungkin ini yang dimaksud oleh kakaknya? Batin Hiro bertanya-tanya.
Tak membuang kesempatan, Hiro kemudian mengambil jas yang tersampir di belakang kursi dan melangkah keluar dari ruangannya. Hiro harus pulang ke rumah lebih dulu untuk menjemput istrinya sebelum datang ke rumah orang tuanya.
Hiro hanya mengatakan pada Elina jika mereka diminta oleh Papa datang ke rumah. Istrinya hanya menurut dan mengikuti saja hingga akhirnya mereka tiba di kediaman tempat dimana Hiro dibesarkan.
Saat keduanya melangkah masuk, sudah ada anggota keluarganya yang lengkap di mana terdapat mama, papa, dan juga Helia. Tak jauh dari posisi mereka ada Monik dan Mita yang duduk dengan kepala menunduk.
Hiro tidak tahu apa yang dikatakan oleh kakaknya hingga membuat wajah papanya tidak sedap dipandang.
"Pa," sapa Hiro.
Hari melangkah mendekati Hiro dengan tergesa-gesa. Pria itu kemudian menampar putranya sendiri hingga meninggalkan bekas yang membuat Hiro mundur selangkah.
"Sudah cukup kamu main-mainnya. Talak perempuan itu kalau kamu memang tidak pernah menafkahi lahir dan batin perempuan itu." Hari bersuara lantang membuat Hiro menunduk. "Kamu bukan laki-laki tegas, Hiro. Bisa-bisanya kamu tidak punya sikap ketika dua wanita tidak tahu malu ini meminta kamu untuk menikah. Ingat, kamu diberi Tuhan otak dan pikiran supaya kamu punya cara menjalani kehidupan. Bukan untuk menjadi pajangan kamu saja."
Kali ini Hari benar-benar marah. Ia baru saja tiba dari luar kota saat putrinya--Helia--membeberkan semua fakta yang terjadi. Di mana Hana dan Mita memaksa agar Hiro mau menikahi Mita dengan berbagai alasan yang membuat Hiro terpaksa menyetujui keinginan kedua wanita itu. Sangat disayangkan, jika putranya yang ia anggap cerdas ternyata bisa dibodohi juga oleh kedua perempuan itu.
"Kamu juga, Hana," tunjuk Hari pada istrinya. "Saya benar-benar muak akan semua kelakuan kamu. Semua tingkah laku kamu benar-benar menjijikkan di mata saya. Menyesal sudah saya mempertahankan rumah tangga ini. Rumah tangga yang memang sudah tidak sehat sejak awal," ujar Hari menatap Hana penuh kebencian.
"Mas, apa maksudmu? Aku sudah berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk kalian. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk kalian semua. Kenapa aku juga disalahkan?"
"Terbaik matamu! Apa yang kamu lihat? Apa semua yang kamu lakukan adalah yang terbaik? Apa anak-anakmu bahagia atas semua yang kamu lakukan? Jawab!" bentak Hari emosi.
Kesabaran Hari sudah mencapai limit dari batasan yang ada. Pria paruh baya itu benar-benar tidak kuat untuk menyelesaikan masalah yang diciptakan oleh istrinya sendiri. Masalah yang menyebabkan rumah tangga putra satu-satunya hancur.
"Mas." Hana menundukkan kepalanya tidak berani lagi mengucapkan sepatah kata ketika melihat kemarahan yang terlihat jelas di mata suaminya.
"Talak perempuan itu, Hiro. Sejak awal kamu tidak memberi nafkah lahir dan batin. Sudah sewajarnya kamu menalak dia dan membiarkan kamu terbebas dari dosa karena tidak bertanggung jawab pada istrimu," titah Hari pada Hiro.
Hiro maju selangkah kemudian menatap Mita yang menggeleng kepalanya dengan panik seolah mengatakan jika Hiro tidak boleh menuruti perintah papanya. Namun, sayangnya ini adalah kesempatan Hiro untuk benar-benar tidak terlibat dalam hubungan apa pun pada Mita.
"Paramitha binti Husein Kusnadi, aku talak 3 kamu sebagai istriku," ucap Hiro dengan begitu lantang, membuat Mita segera bangkit dan menatap pria yang ia cintai tak percaya.
"Tega sekali kamu melakukan ini padaku, Hiro. Kamu tahu saat ini aku sedang sakit-sakitan. Kalau ada apa-apa sama Monik, kamu yang akan bertanggung jawab." Mita menatap Hiro penuh amarah. Tidak menyangka jika sahabat sekaligus pria yang ia cintai ternyata tega melakukan hal ini padanya.
"Memangnya kamu sakit apa? Hanya sakit pura-pura demam kamu bahkan rela menyewa kamar rumah sakit untuk kamu tempati. Benar?" sahut Helia seraya bangkit dari duduknya. "Kenapa? Terkejut aku mengetahuinya?" tanyanya saat melihat ekspresi tak percaya ditampilkan Mita.
Helia dengan senyum yang kemudian mengeluarkan sebuah rekaman suara yang ia buat beberapa hari yang lalu saat mama dan Mita berbincang di dalam kamar. Hal tersebut sontak membuat Mita dan juga Hana pucat pasi di tempat.
"Aku juga memiliki ini."
Sekali lagi Helia dengan santai mengeluarkan sebuah surat dengan kop rumah sakit yang biasa ditempati oleh Mita. Wanita cantik itu kemudian dengan santai menyerahkan surat hasil diagnosis Mita yang sesungguhnya pada Hiro dan juga Hari.
"Ini adalah bukti kebohongan mama dan perempuan ini pada kamu, Hiro. Perempuan ini benar-benar tidak sakit sama sekali," ujar Helia pada adiknya. "kamu dijebak sama kedua perempuan yang berstatus sebagai mama dan sahabatmu. Bagaimana? Menyenangkan bukan?" Helia terkekeh sambil tersenyum miring. Sementara tangannya bersedekap dada menatap adiknya dengan tatapan remeh.
"Ini?" Hiro jelas tercengang ketika membaca keseluruhan isi dari surat di tangannya.
Hiro benar-benar kecewa dengan sikap mama dan sahabatnya.
"Hiro, jangan percaya sama Helia. ini bisa menjadi jebakannya supaya kamu semakin membenci aku dan mama kamu," ujar Mita mencari pembelaan.
"Memangnya untuk apa saya menjebak kamu? Apa ada manfaatnya? Tidak ada sama sekali." Helia terkekeh. Helia kemudian mengalihkan tatapannya pada adiknya. "Hiro, kalau kamu kurang jelas dengan semua ini, Kakak kamu yang cantik nan jelita ini bisa membawa kamu ke rumah sakit dan mengecek langsung kalau perempuan ini benar-benar tidak sakit."
"Tidak, Hiro, dengar kamu jangan percaya pada kakak kamu. Aku benar-benar dalam keadaan sakit."
"Ternyata selama ini aku dibohongi oleh Mama dan sahabatku sendiri. Benar-benar tidak bisa dipercaya." Hiro terkekeh sambil menatap sendu mamanya yang menundukkan kepala. "Apa dengan memisahkan aku dengan wanita yang aku cintai, apakah Mama akan merasa puas? Apa kehilangan Kak Hera tidak cukup untuk menyadarkan Mama bahwa apa yang Mama lakukan itu salah?"
"Hiro," panggil Hana lirih. "Mama melakukan ini untuk balas budi."
"Balas budi apa maksud Mama?"
Hana mengangkat kepalanya. "Kamu ingat beberapa tahun lalu Mama pernah kecelakaan. Ternyata, orang yang mendonorkan darah untuk Mama adalah Mita. Mita meminta Mama untuk membalas budinya agar mau membantunya mendekati kamu bila perlu kalian harus menikah agar hutang budi Mama dengan Mita impas."
"Donor darah? Balas budi?" Sekali lagi Hiro terkekeh sumbang. "Ternyata tidak hanya aku yang dibohongi oleh perempuan ini. Mama juga sudah termakan oleh kebohongannya."
"Apa maksud kamu, Hiro?" Hana menatap Hiro tak mengerti.
"Dia--" tunjuk Hiro pada Mita. "Tidak pernah mendonorkan darahnya setetes pun pada mama. Kalian berbeda golongan darah. Kalau mama mau tahu, orang yang sudah mendonorkan darah untuk Mama adalah dia." Kali ini telunjuk mengarah pada sosok kakaknya yang masih menampilkan ekspresi angkuh sehingga membuat Hana tidak percaya.
Tidak mungkin itu Helia, pikir Hana karena sangat tahu watak putrinya yang nomor dua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...