🐣08. Not like this

9.3K 725 30
                                    

Pencet tanda 🌟 nya dulu ya Wamoy 🐣✨
.
.

Happy Reading 🍓🎀
.
.
.

Jeano menatap bangunan besar didepannya dari dalam mobil yang sudah terparkir didepan bangunan tersebut, bangunan yang seharusnya menjadi tempat ternyaman nya. Namun, itu hanya sebuah khayalan semata, yang menetap sebentar lalu terhapus oleh kenyataan.

Mahen yang melihat sang adik tampak ragu, langsung menggenggam jemari kecilnya. Jeano menatap Mahen yang menatapnya seolah mengisyaratkan, kalau semua akan baik-baik saja.

"Papi sama Mami masih benci, Ano?!"

Mahen menggeleng, "Papi sama Mami sayang Ano."

"Ano takut Abang," lagi-lagi Jeano teringat masa-masa, saat ia masih berada ditempat ini.

Sebuah rumah bergaya klasik, Jeano tidak yakin untuk memasuki kembali rumah yang sejak kecil menjadi tempat bermain sekaligus luka nya.

"Jangan takut, ada Abang! Abang nggak akan pernah biarin Papi sama Mami nyakitin Ano."

Jeano melepas jemari Mahen yang masih menggenggam nya, menghirup udara untuk meyakinkan ssmuanya, dan mengeluarkannya dengan perlahan.

Baru saja keduanya turun dari mobil, mereka sudah di sambut oleh kedua orang tuanya. Mahen dan Jeano menghampiri Papi, Mami mereka.

"Mahen, sayang." Tiffany berhambur memeluk Mahen, mengusap serta mencium pipi sang Putra.

Tiffany melepas pelukannya, berganti Davian yang memeluk bangga Mahen, "Anak Papi, sangat gagah!" Bangga Davian pada Mahen.

Jeano hanya diam, melihat bagaimana orang tuanya yang memeluk Mahen dengan sayang. Sedangkan dirinya, seolah hanya angin lalu yang tak terlihat.

"Pi, Mi! Ada Jeano juga," ujar Mahen tidak nyaman. Ia bisa melihat ketakutan dalam diri Jeano. Adiknya memang hanya diam, tapi ia tau saat ini Jeano tidak baik-baik saja.

"Iya, terus?!"

Mahen tidak habis pikir dengan Maminya. Bisa-bisanya Mami nya berkata seperti itu, membuatnya sangat marah.

"Ano__"

"Papi, Mami apa kabar?" Tanya Jeano pada Kedua orang tuanya, untuk memotong ucapan Mahen. Jeano tau, Abangnya pasti merasa tidak enak padanya. Jeano tidak masalah, selagi itu membuat Mahen bahagia. Jeano hanya cukup Mahen selalu menyayanginya, itu sudah lebih dari cukup.

"Baik," jawab singkat Davian.

Tiffany memutar bola matanya malas, Jeano menyadari hal itu.

"Oh iya, sayangnya Mami. Mami udah buat makanan yang enak banget buat kamu, kesukaan kamu sayang." Tiffany merangkul lengan Mahen, dan mengajak Mahen untuk masuk kedalam rumah.

Jeano masih terdiam, melihat kepergian Abangnya.

"Masuk, jangan seperti orang aneh." Sarkas Davian. Pria paruh baya itu memasuki Rumah bernuansa putih dengan ornamen gold itu, lebih dulu.

"Ano juga nggak mau kayak gini, Ano mau jadi seperti teman-teman Ano." Batin Jeano sesak.

Jeano memasuki Rumah, dan langsung keruang makan. Laki-laki itu duduk dikursi meja makan samping Mahen.

"Adek," Mahen sangat khawatir saat ini. Ia ingin menangis saja, tidak tega dengan apa yang perlakuan oleh kedua orang tua kandungnya sendiri.

"Adek baik-baik, aja." Cicit Jeano yang masih terdengar Mahen.

Dream House [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang