Kue

523 96 124
                                    

Keluarga Wibisana kini sedang menyantap makan malam mereka dengan Ari dan Rai yang sibuk bercerita banyak hal tentang kegiatan mereka. 

Soekma mendengarkan dengan baik apa yang diceritakan anak kembarnya, sedangkan Jihan hanya diam menatap ke arah Bisma yang juga sesekali menimpali obrolan adik-adiknya. 

"Abang, sayang Bunda gak?" tanya Jihan menyela cerita anak-anaknya.  

Bisma mengangguk semangat. "Sayang."

"Banyak, gak?"

Bisma merentangkan tangannya. "Tak terhingga."

"Kalau abang punya ibu baru, Abang bakal tetep sayang Bunda gak?"

"Jihan," panggil Soekma agar Jihan tidak berbicara sembarangan. 

"Kenapa abang perlu ibu baru kalau Bunda aja udah yang terbaik? Gak ada yang bisa gantiin Bunda," jawab Bisma yang kemudian tersenyum polos. 

Jihan kemudian berdiri dari duduknya. "Bunda ke toilet dulu."

"Abang pasti buat salah," ujar Ari saat Jihan sudah meninggalkan meja makan.

Bisma menatap Ari dengan bingung. "Aku hari ini belajar yang baik. Aku juga gak nakal di sekolah. Di tempat les juga aku merhatiin guru. Bekel aku habis, gak kaya kamu yang suka nyisain bekel sampe bikin Bunda marah."

"Abang pasti udah bikin Bunda marah. Tadi aja Bunda nanya kalau abang punya ibu baru bakal tetep sayang Bunda atau gak. Artinya Bunda mau kasih kamu ke keluarga lain," ujar Rai. 

Bisma menatap ke arah Soekma dengan tatapan bersalah. "Aku buat salah, ya, Yah? Bunda pasti nanya punya Ibu baru soalnya aku anak nakal."

Soekma menggelengkan kepalanya. Ia mendekatkan tempat duduknya ke arah Bisma. Tangannya pun menggenggam tangan Bisma. "Nggak. Bunda sayang banget sama abang. Begitu juga sama Rai, Ari, dan Michelle. Bunda cuman iri aja ke Ayah. Minggu lalu kan hari Ayah, abang kasih hadiah buat Ayah, kan?"

Bisma mengangguk pelan dengan air mata yang sudah menumpuk di kantung matanya. 

"Nah, Bunda juga mau dikasih hadiah dari abang. Bunda gak mungkin kasih kamu ke keluarga lain. Kamu, Rai, Ari, dan Michelle itu kebanggaan dan kesayangan Bunda," jelas Soekma. 

"Aku gak bakal punya ibu baru kan?"

Soekma terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum dan menjawab, "kamu anak Bunda."

.
.
.

"Kok bisa gitu lho Mas nyampe ketuker? Aku gak bisa ngebayangin gimana rasanya ada di posisi Mbak Jihan."

"Aku kurang tau sih gimana ceritanya bisa ketuker gitu," balas Marga yang kemudian memakan buah potong yang disediakan Hedia sebelum mencuci piring bekas makan malam. "Cuman kaya gak masuk akal aja."

"Iya kan, Mas?" Hedia berbalik sesaat untuk menatap Marga. "Maksudnya tuh, setelah Bisma sebesar itu, mereka baru tau fakta sekrusial itu. Dan taunya setelah si perawat meninggal. Minta pertanggungjawabannya gimana coba."

"Biarin Tuhan aja yang hukum dia. Hukuman dari Tuhan pasti lebih berat dari hukuman di dunia."

"Ya biar double gitu hukumannya," balas Hedia dengan kesal.

Marga terkekeh mendengar hal tersebut. "Daripada kamu misuh gitu, mending doain Mbak Jihan dan Mas Soekma biar dilapangkan dada mereka dengan fakta yang baru mereka dapetin."

Hedia menghela napas dan berbalik menatap Marga. Matanya berkaca-kaca dan siap menangis. "Kasian banget Mbak Jihan."

Marga berdiri dan menghampiri Hedia. Ia segera memeluk sang istri. "Kenapa kamu yang nangis?"

Komplek Rengganis  [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang