Hari Ibu

574 100 43
                                    

"Ibu," panggil Belinda yang sudah berada di depan kamar Ibunya. "Sarapan udah siap, Bu. Ayo kita makan."

Setelah ajakan tersebut, Belinda pergi ke meja makan untuk menyiapkan makan anak dan suaminya. 

"Besok bagi rapot, kan?" tanya Belinda kepada Anton yang sudah siap untuk sarapan. 

"Iya. Nanti Ibu yang ambil, ya. Jangan Ayah," pinta Anton dengan senyum polosnya. 

"Kenapa emangnya Ayah gak boleh ambil? Kan biasanya Ayah yang ambil," ujar Pram agak bingung.

"Kan ambil rapot tanggal 21, tanggal 22-nya hari Ibu. Nah, ada acara gitu di sekolah. Apresiasi untuk para ibu yang udah didik anaknya dengan baik."

Belinda tersenyum lembut dan mengusap puncak kepala Anton dengan lembut. "Oke. Nanti Ibu yang ambil," ujarnya menyetujui apa yang dikatakan anak lelakinya yang baru berusia 15 tahun. 

Bu Muna pun mendudukan diri di kursi makan dengan ekspresi wajah yang datar. 

"Ibu pas bangun langsung minum obat kan? Soalnya ada obat yang harus Ibu minum 30 menit sebelum makan," ujar Belinda saat ibunya menyendokan makanan ke atas piring. 

"Mau Ibu udah minum obat atau belum, gak usah peduli kamu. Biarin aja, biar Ibu cepet mati."

"Ibu, ada Anton," tegur Belinda dengan lembut, tidak ingin mereka bersitegang di pagi hari.

Bu Muna tidak berkata apapun dan memutuskan untuk sarapan tanpa berkata apapun. Makan pagi hari itu hening. Namun tidak lama. Belinda berbicara untuk rencana tanggal  22 Desember nanti.

"Ibu, gimana kalau kita piknik tanggal 22 nanti? Kita rayain hari Ibu barengan," ajak Belinda dengan ceria. 

"Gak usah berusaha cari perhatian, ya, kamu. Pokoknya kamu dan keturunan kamu gak bakal dapet warisan," ujar Bu Muna dengan ketus. Setelahnya, ia berdiri dari duduk dan memasuki kamarnya. 

"Maafin Nini, ya, Anton. Nini aslinya baik, kok. Cuman hasil kesehatan kemarin kurang baik, jadi Nini agak sensitif," ujar Belinda agar Anton tidak memandang buruk neneknya.

"Nanti kita aja piknik berdua, ya, Bu," balas Anton dengan senyum polosnya. 

"Ayah ikut, ya?" goda Pram yang langsung mendapat penolakan dari Anton. 

"Namanya kan Hari Ibu, Ayah. Masa Ayah ikut?"

"Ya, gak apa-apa. Ayah gak mau ditinggal kalian."

"Gak boleh pokoknya."

Belinda tersenyum hangat walaupun dalam hatinya berusaha menyembuhkan luka yang ditorehkan ibu kandungnya sendiri.

.
.
.

Pagi hari ditanggal 21 Desember itu, Jordy dengan pakaian formal yang digunakan untuk bekerja menghampiri rumah Leila. Lelaki itu dengan sabar menunggu pintu di hadapannya terbuka. 

"Coba, ya, Hedia, ... , Eh, Pak Jordy," ujar Leila yang baru saja membuka pintu rumahnya. Tangannya pun langsung bergerak menyelimuti diri dengan jubah tidur. Setelahnya, tangannya bersidekap di depan dada untuk menutupi payudara yang tidak dilindungi oleh bra.

"Ada apa, Pak Jordy? Kanaya gak ada di rumah saya."

Jordy melambaikan tangannya. "Kanaya masih asik di dapur. Saya mau minta tolong."

"Minta tolong apa?"

"Tolong ajak Kanaya pergi jalan-jalan sampai besok sore."

"Ya?" Leila menatap bingung ke arah Jordy. "Kayanya Kanaya kalau disuruh jalan-jalan seneng-seneng aja, gak perlu saya yang ngomong."

Komplek Rengganis  [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang