DUA TUJUH

2.3K 96 19
                                    

DHIRA 's

"Mas, aku gapapa."

Daren terlihat sangat frustasi, dia bahkan tampak tak fokus mengendarai mobil mewah nya hanya karna suara ku terdengar tambah parau dan hidung ku semakin memerah.

Ini hanya pilek. Tapi Daren merasa bersalah karna mengira itu terjadi karna diri nya.

"Saya ninggalin kamu terlalu lama. Dewan nya terlalu banyak berdebat. Saya—"

"Mas." Aku memanggil nama nya untuk menghentikan omongan nya. "Aku gapapa, oke? Aku cuman kedinginan karna AC ruangan mu emang terlalu dingin," Aku terkekeh kecil.

"Besok saya suruh sekretaris saya turunin derajatnya. Kalau kamu datang, saya suruh sekretaris saya untuk datangin saya kalau lagi ada rapat biar saya tinggalin—"

"I'm not a kid, Mas." Aku meraih bahu Daren dan menghelusnya pelan. Dan itu berhasil membuat si pengemudi berangsur-angsur merasa membaik.

Aku menyadari perubahan Daren. Saat dia sedang bekerja, dia tak kenal waktu, dia akan anggap bumi ini datar. Tapi ketika jam nya sudah selesai, dia kembali seperti Daren yang aku kenal. Dia seperti robot yang sudah di setel untuk beberapa hal tertentu.

Seperti, dia akan berperang melawan siapapun namun ketika jam nya berakhir, dia akan baru sadar siapa yang ia sakiti.

"Saya terlalu sibuk kerja."

Aku mendengar helaan napas berat dari mulutnya. Walaupun mata nya fokus ke arah jalan tapi aku tak bosan-bosan memandangi wajah tampan nya dari samping.

"Kamu kerja supaya perusahaan berjalan baik." balas ku, mencoba meringankan nya.

"Ada banyak karyawan yang bergantung pada perusahaan ini, Ra. Belum lagi yang ada di tambang," Lampu merah menyala akhirnya membuat Daren menghentikan mobil nya lalu menoleh menatap ku, "Kalau saya ga becus, ada berapa keluarga yang bisa terlantar."

Aku tersenyum kecil. Hati ku menghangat mendengar kepedulian nya terhadap orang-orang sekitar. Aku tumbuh kembang di lingkungan pebisnis besar. Aku tahu ego dan haus uang mereka membuat mereka bekerja seakan waktu hanyalah sebatas angka yang melingkar.

Aku meraih wajah nya dan menghelus nya lembut, terasa sedikit geli karna bulu-bulu kasar di sekitaran rahang nya menyentuh tangan ku. "

"Tapi itu malah membuat saya menghiraukan orang di sekitar saya."

Ada nada pasrah dan sedih dari intonasi suara nya. Dia menatap ku dengan tatapan memelas. Aku tersenyum lagi, "It's okay, you do the right thing."

Mata kami bersitegang. Keheningan menyerang jarak di antara kami. Netra coklat ku bertabrakan dengan netra kebiruan Daren. Ada bahasa tubuh yang tak terdengar oleh telinga.

Aku yakin dia akan mencium ku kalau saja kendaraan di belakang tidak membunyikan klakson nya untuk memberitahu bahwa lampu telah berganti hijau.

Aku tergelak sesaat.

Aku memasuki Mansion yang tak asing bagi ku. Terakhir kali menginjakkan kaki di sini saat pria bertubuh besar itu menarik beasiswa ku secara tiba-tiba dan meminta ku untuk tidur dengan nya.

Itu cara yang brengsek, sebenarnya.

Tapi aku menyukai nya.

Aku mengerutkan kening ku saat merasakan suasana rumah terlihat sangat sepi. Aku memperhatikan sekitar, "Ga ada siapa-siapa, Mas?"

Daren yang berjalan di samping ku sambil mengenggam tangan ku melirik sebentar, "Pasti ga nyaman kalau di lihat pelayan lain. Mantan pelayan tiba-tiba datang jadi pacar saya."

MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang