TIGA ENAM

1.7K 77 13
                                    

DAREN's

Aku sontak langsung berdiri begitu pintu ruang operasi terbuka dan menampilkan Dokter yang sama saat meminta tandatangan ku sebagai wali Dhira keluar memakai pakaian operasi nya.

"Dok ...," Aku tahu dia melihat atensi ku, aku hanya ingin dia segera memberitahu keadaan Dhira.

Sorot mata nya yang prihatin membuat dada ku langsung naik turun. Ku rasakan jantung ku membeku, aku yakin wajah ku pucat setengah mati saat ini.

"Pasien baik-baik saja."

Thank God.

"Tapi kami terpaksa melakukan kuretase untuk menyelamatkan nyawa nya. Maaf, saya tidak bisa menyelamatkan bayi nya."

Aku mengerutkan kening ku.

bayi?

Apa maksudnya bayi?

"Bayi di dalam perut pasien masih sangat rentan dengan kondisi tubuh ibu nya yang juga sangat lemah. Jadi kami terpaksa mengambil keputusan."

Dhira hamil?

Dan dia kehilangan bayi nya.

bayi ku.

Dhira tidak mungkin tidak memberitahu ku tentang kehamilan nya. Dan dia juga tidak berhak menyembunyikan keberadaan anak ku dari ku, aku yakin Dhira paham akan hal itu.

Apa Dhira juga tahu soal ini? Apa dia tahu dia hamil?

"She didn't tell you."

Aku langsung menoleh ke arah Diva yang sama pucatnya seperti ku. Mata nya yang mengarahkan penghakiman seakan menusuk dada ku.

"Dia ga pernah berniat punya anak. Tapi karena kamu, dia memikirkan nya."

Kalimat itu menusuk ku lebih dalam. Seakan memang ingin mengoyak-ngoyakkan ku lebih jauh.

"Aku yakin maksud Dokter soal kondisi nya yang lemah adalah karna Om ga ada di samping nya." Diva menatapku dalam. "Om hilang, seakan keputusan untuk memilih dia itu sulit."

"Ti-tidak, saya tidak akan berpikir dua kali untuk memilih nya."

Diva menaikkan satu alis nya. "Itu fakta nya sekarang."

Aku terdiam. Aku tahu diam ku hanya akan membenarkan ucapan Diva namun aku sama sekali tak punya satu kata pun di otak ku untuk membalas nya, di tambah aku masih sangat mengkhawatirkan Dhira yang masih belum di keluarkan dari ruang operasi.

Matt juga diam, dia tak bisa memihak siapapun.

Aku menatapnya dengan mata yang sudah memerah, "You know this?"

Dia tak menjawab, tapi mata nya memberitahu semua nya.

Aku terduduk. Kaki ku melemah sehingga tak mampu menahan beban ku lagi.

Semua orang tahu.

Kecuali aku.

Aku tidak tahu siapa yang kejam di antara kami tapi aku akan selalu menyalahkan diri ku sendiri hingga akhir hayat ku. Aku kehilangan anak ku, bahkan sebelum aku mengenal nya.

Aku tidak akan pernah memaafkan diri ku sendiri sampai aku mati.

"Diva!"

Suara bergema di lorong ini. Aku tak punya tenaga untuk bersuara, aku hanya bisa menunduk dalam.

"Dhira! Dhira gimana?" Aku kenal suara itu. Suara teman Dhira, Najla.

"She lost her baby."

Matt menjawab. Tapi jawaban membuat ku tahu, semua orang memang sudah tahu kehamilan Dhira, bahkan teman nya yang jarang ia temui sekalipun.

Aku menoleh, mata ku langsung terjatuh ke netra kecoklatan Najla. Tatapan menyalahkan.

Benar. Aku memang pantas di salahkan.

"You ...,"

Aku tak masalah jika mereka semua yang ada di sini menghujam ku dengan bogem mentah hingga aku terkapar dan tak berdaya. Tapi Matt dan Diva tak setuju dengan pikiran ku, mereka menahan Najla yang berusaha menggapai ku untuk menggoreskan luka di fisik ku.

Aku hanya bisa terdiam. Untuk bernapas saja rasa nya sangat berat.

Dunia ku hancur begitu saja.

*.*.*.*

Aku masih duduk di luar ruangan. Dhira sudah di pindahkan dari ruang operasi ke kamar pasien untuk pemulihan. Matt, Diva dan Najla ada di dalam tapi aku,

Aku masih tak sanggup melihatnya. Membayangkan ada setitik luka di tubuh nya saja aku langsung melemah, apalagi melihatnya secara langsung dengan luka yang cukup serius.

i better kill myself.

Aku meraih kepala ku dan meremas rambut ku kuat-kuat. Aku tak lelah memaki maki diri ku sendiri sejak tadi.

Tiba-tiba, aku merasakan satu beban di kursi samping ku. Bagai perintah, aku menoleh.

Mark.

Dulu, mungkin aku akan mendorong nya keluar lalu menghajarnya habis-habisan. Tapi sekarang, aku mulai kembali menerima nya.

Itu semua juga berkat Dhira.

Aku mulai menerima ingatan tentang kebersamaan kami yang terlalu berharga untuk di lupakan.

"I feel sorry bout Dhira."

Aku menarik napas panjang lalu bersandar di punggung kursi, "Its my fault."

Mark diam. Tanda dia setuju dengan ucapan ku, aku pun tak keberatan, karna memang itu kenyataan nya.

Keadaan diam untuk beberapa saat.

"I'm sorry."

Aku kembali menoleh. Aku yakin kali ini bukan ucapan prihatin nya dengan keadaan Dhira. Tapi perkara lain.

Mark menatap ku, ini pertama kali nya kami saling tatap tanpa ada benci yang terselip.

"Aku minta maaf karna menjadi pengecut. Aku tahu cara ku merebut Dehya dari mu salah dan tak termaafkan,"

"Tapi aku akan tetap meminta maaf, walaupun itu harus ku ucapkan sepanjang hidup ku." Mark diam sejenak, "Dhira menyadarkan ku, sudah saat nya aku berhenti menjadi pengecut."

Aku mematung di tempat. Aku dapat merasakan aliran darah ku berhenti mengalir untuk beberapa saat.

Shit.

Selama dua minggu.

Dua minggu tak bertemu sama sekali.

Kami melakukan hal yang benar-benar berbanding terbalik.

Dhira tetap berusaha memperbaiki hidup ku, menyempurnakan nya dan mengisi lubang-lubang kosong yang tercipta karna masa lalu.

Sedangkan aku?

Aku malah menghancurkan hidup nya.

Aku mulai mempertanyakan kembali diri ku,

Apakah aku pantas untuk nya?

Dengan semua apa yang telah dia lakukan untuk ku dan apa yang aku lakukan sebagai balasan nya.

Apakah aku pantas?

MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang