TIGA TUJUH

1.4K 68 14
                                    

Dhira's

Kosong.

Itu yang ku rasakan saat ini. Aku telah mendengar semua nya. Bagai tak di izinkan, aku tak menangis. Aku sudah terlalu sedih sampai air mata pun takut untuk keluar dari tempat nya.

Pintu terbuka, nafas ku tercekat saat melihat atensi Daren ada di sana. Aku tahu dia ada di sini sejak tadi namun entah ketakutan apa yang membuatnya tak berani masuk untuk melihat ku.

Aku perhatikan wajah nya, tampak jauh lebih tua. Kerutan di ujung mata nya terlihat jelas dengan raut muka nya yang keras.

Dia melangkah mendekat, mata nya tak henti-henti nya memperhatikan ku yang masih terbaring lemah di ranjang.

Kemudian dia duduk di samping ku, meraih tangan yang tak di pasang selang infus lalu mengenggam nya hangat.

"Ada yang terasa sakit?"

Aku sontak menggeleng lemah kemudian ia tersenyum kecil, ia perhatikan tangan ku yang tak ia genggam. Dia menatap nanar ke arah selang infus itu.

"Mas,"

Mata nya langsung beralih ke arah ku.

"I lost my baby."

Suara ku bergetar, tanda ingin menangis. Aneh, ber—jam-jam aku tidak punya niatan menangis sedikitpun saat tahu fakta aku kehilangan anak ku namun ketika aku ingin membicarakan nya dengan Ayah dari anak ku, dorongan menangis itu lebih besar.

Dia berhak tahu tentang kehadiran anak nya.

Dan aku menghilangkan jejaknya dari dunia ini sebelum dia mengenal nya.

Aku takut akan fakta bahwa mungkin saat ini, Daren membenci ku.

Dia diam, kediaman nya membuat ku semakin takut.

Tapi tangan nya terangkat menyentuh pucuk kepala ku kemudian menghelus rambut ku lembut. Senyum nya terukir walaupun sangat tipis. "Saya temui dokter Hilmar dulu, konsultasi tentang keadaan kamu."

Menghindar.

Daren tak pernah mau mengungkapkan apapun yang dia pikirkan dan rasakan saat ini.

Aku tahu, dia begitu mungkin ingin menjaga perasaan ku yang sangat berpengaruh untuk kondisi ku sekarang. Tapi aku harus tahu apapun pikiran nya tentang ku setelah aku menghilangkan anak nya.

Dia berdiri dan hendak pergi sebelum aku meraih tangan nya. Menahan nya untuk tetap di sini.

Daren menoleh ke arah ku, aku yakin dia bisa melihat tatapan memohon ku yang meminta nya untuk jangan pergi.

Lagi-lagi dia tersenyum tipis seraya melepaskan tangan ku, "Saya ga akan pergi."

Itu kalimat terakhir dia sebelum meninggalkan ku di ruangan rawat inap ini sendirian. Itu kalimat penenangnya, dia tahu aku takut dia akan pergi dari ku. Pergi dalam artian sebenarnya.

Dan itu membuat ku menangis, setelah berjam-jam aku baru menyadari kekosongan jiwa ku saat di tinggal anak ku setelah aku berbicara dengan Ayah nya.

Tangisan ini menyadariku, bahwa aku pun menginginkan seseorang lahir dari rahim ku.

*.*.*.*

Aku memandangi sekeliling Mansion Daren yang begitu besar. Ada yang berbeda dari terakhir kali aku di sini.

Terlihat suram dan gelap.

Daren mendorong kursi roda untuk berjalan menuju kamar yang ada di lantai bawah. Kondisi ku sekarang tidak memungkinkan untuk naik ke lantai dua.

MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang