keluarga

352 72 4
                                    

"ck, ah, ngapain gue pikirin sih" jeno berrgumam kesal saat kejadian seminggu lalu di apartemennya masih terputar di pikirannya. ia melempar bola basket yang sedang ia pegang tinggi-tinggi sambil berdecak karena bolanya malah memantul, tidak ingin masuk ke dalam keranjang.

tidak ada kejadian yang lebih dari itu minggu lalu. tidak, mereka tidak sampai untuk 'melakukan ' itu. karena jeno masih cukup waras untuk menghalau setan kecil yang tinggal di apartemennya itu. ia sekarang menyesal membiarkan wanita gila itu untuk tinggal bersamanya. wanita itu, jeno yakin ucapannya bukanlah mainan.

dan yang lebih aneh lagi, mengapa dia memikirkan semua itu?

tidak seharusnya ucapan yeji terpikir dan berputar-putar di kepalanya.

jeno menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan pikiran yang membuatnya terpaku selama hampir tujuh belas tahun hiduupnya. ciuman pertamany. ah sialan.

"ngapain lo?" jeno yang hampir melempar bola basketnya keras keras menoleh ke arah seseorang yang menyapanya. seorang pria dengan pakaian santai, celana pendek berwarna abu-abu dengan kaos berwarna navy, di tangannya ada dua buah cola yang ia bawa. dia berkedip keheranan melihat jeno yang bertindak seenak jidatnya.

"ngga ngapa-ngapain" kali ini jeno melemparkan bolanya dengan santai dan berhasil, bola itu masuk ke dalam keranjang dengan sempurna. tidak seperti kejadian kejadian yang lalu. dia mengibaskan rambutnya yang sudah mulai panjang ke belakang.

"ke kamar gue aja. ngga ada orang kok" jeno menganggukan kepalanya, mengambil cola dingin kemudian meneguknya sembari berjalan mengikuti pria di depannya. rumah tiga lantai berwarna putih gading ia kunjungi, bukan untuk kali pertama tentu saja mengingat sudah beberapa kali dia datang ke rumah ini dan dia sudah bisa menghafal letak ruangan demi ruangan yang ada di rumah ini.

ia masuk ke sebuah ruangan yang ada di lantai tiga. lantai teratas yang hanya dihuni oleh satu-satunya anak di keluarga kaya raya ini. kamar berwarna putih gading dengan campuran coklat muda serta beberapa dekorasi khas anak lelaki, ada gitar akustik yang terletak di lemari kaca, serta buku-buku yang tersusun di lemari yang ada di sudut ruangan. tentu itu hanya beberapa koleksi karena di ruangan sebelah ada juga perpustakaan yang jeno yakini isinya sama dengan yang ada di toko buku. 

"lo yakin ngga ada yang lo pikirin?" jeno meneguk tegukan terakhir cola nya kemudian melemparkan ke tempat sampah berwarna coklat dengan tangan kirinya.

ia menggelengkan kepalanya. "ngga ada" jawabnya berbohong. "jadi, kenapa lo panggil gue?" jeno bertanya kepada pria di depannya.

pria didepannya  hanya menganggukan kepala. "bentar, lo main dulu disini. gue mau ambil sesuatu" jeno hanya mengangkat alis. ia kemudian melangkah menuju ranjang king size yang ada di kamar megah itu dan membanting tubuhnya ke kasur yang bukan miliknya. tenang saja, saking seringnya ia bermain ke tempat ini, mereka-pemilik rumah sudah tidak heran dengan kedatangannya.

"nih" jeno yang berbaring miring sambil berkedip kedip menoleh ke arah pria yang datang dengan tas ransel berwarna hitam. ia terduduk saat tas itu  berada di sampingnya. matanya berbinar melihat apa yang ada di depannya. tumpukan kertas berwarna merah yang ia kenal sebagai uang memenuhi ransel di depannya. "750 juta. disini ada sekitar lima ratus jutaan. dua ratus juta gue kirim secara berkala ke lo, biar ngga kena pajak" pria di depannya menjelaskan. "mau dihitung dulu?"

jeno menggelengkan kepala. "ngga usah, mark. gue percaya lo" jeno menjawab sambil tersenyum lebar.

pria yang tidak lain tidak bukan adalah mark hanya tersenyum. "thanks udah bikin dia mati, ya, jen. duitnya ini. kurang atau ngga?"

benar, dalang dari pembunuhan ketua osis di sekolah mereka adalah mark. jeno yang mengeksekusi sementara mark, dia yang membayar jeno untuk menghabisi nyawa kakak tingkat mereka. alasannya, sederhana, pria itu menyebalkan dan mark membenci pria itu.

DOUBLE TROUBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang