perjanjian

483 71 8
                                    

"selamat datang di rumah gue" yeji melihat ke arah sekeliling dimana dia sudah memasukki sebuah apartemen yang disebut 'rumah' oleh jeno. tidak sesuai dengan dugaannya mengenai rumah laki-laki yang akan terasa berantakan, apartemen milik jeno nampak rapi. hanya ada televisi berukuran 24 inch yang berada di atas buffet berdampingan dengan sebuah vas bunga mawar merah yang sudah setengah layu.

apartemen miliknya berwarna hitam, nampak terlihat maskulin. tidak ada tumpukan pakaian yang terlihat menggunung di apartemen bertipe studio. ada satu ranjang berukuran middle size di sudut ruangan dengan sprei berwarna putih. kulkas satu pintu terletak di sudut yang berlawanan, dekat dengan sebuah meja yang berisi buku-buku disana.

satu hal yang menarik perhatian yeji adalah adanya komputer besar dengan kursi yang memiliki roda di depannya, menyala sembari menunjukkan koordinat yang yeji tidak tahu.

"ini rumah punya lo?" jeno yang tengah meletakkan tas nya di meja belajar menganggukan kepala. ia kemudian melepas kacamata nya.

"gue tinggal disini buat sementara waktu sampai gue punya duit buat pindah. terserah lo mau ikut tinggal disini atau engga, keberatan kalau gue buka baju disini?" yeji menggelengkan kepalanya, tentu saja dia tahu bagaimana bentuk tubuh seorang pria sehingga hal ini tidak lagi asing bagi dirinya. yeji tertegun ketika pria yang ia kenal sebagai teman pendiamnya di kelas nampak memiliki tubuh yang sempurna daripada yang ia kira.

otot bisep nya terbentuk sempurna dengan garis garis samar di perutnya yang menunjukkan kalau pria ini berolahraga. apalagi dia sekarang merubah tatanan rambutnya. ia memakai kaos pendek berwarna putih dengan celana abu abu sekolah.

ia kemudian melangkah menuju kulkas, mengambil sekaleng soda kemudian melemparkannya kepada yeji. "gue cuma punya ini. belum belanja. gue ngga ada duit" jeno berujar jujur sebelum mengambil kapas dan alkohol untuk mengobati luka-lukanya.

"thanks" yeji melihat kaleng dingin yang ia pegang. tanggal kadaluarsa tinggal dua hari lagi. ia menggelengkan kepalanua setidaknya soda ini bisa ia minum.

"bayi lo gimana?" jeno yang sedang membersihkan luka di wajahnya, bertanya tanpa sibuk sibuk melirik yeji. yeji mengangkat bahu. "mati" ia menjawab tanpa beban seolah kematian anaknya tidak ada artinya.

jeno mengangguk anggukan kepalanya. "pantas lo mau lompat kemarin" jeno berujar lagi lagi tidak menoleh. ia masih fokus dengan kapas di tangannya.

"daniel tadi datang sama cewe baru. gue pikir kalian masih bareng" jeno melirik yeji yang duduk di ranjang sambil memegangi cola.

yeji berdecak. "si bangsat itu ngejebak gue" kemudian mengalirlah cerita yang dialami oleh yeji. kali ini tanpa ada isakan serta air mata melainkan hanya ada umpatan-umpatan emosi bagi mereka yang berani beraninya menyakiti dirinya. dia bukan sembarang orang yang bisa disakiti seperti ini!

jeno memberi respon sambil menganggukan kepalanya. "gitu"

yeji mendongak. "gue udah cerita panjang lebar. respon lo cuma gitu?" ia protes. jeno hanya mengangkat bahu kemudian melemparkan kapas yang ada di tangannya ke tempat sampah sebelum melangkah di depan komputer nya, duduk di depan yeji.

"lo udah yakin mau balas dendam? gue tanyain sekali lagi sebelum gue bahas semuanya" jeno memutar duduk nya sehingga kini mereka berhadapan walau jaraknya cukup jauh.

yeji menganggukan kepalanya. "gue bakal bikin mereka yang bikin gue kaya gini nerima balasannya" ia menjawab sembari meremas kaleng soda yang ada di genggamannya. jeno menganggukan kepalanya.

"termasuk orang tua lo sendiri?" jeno mengangkat alisnya.

yeji yang pikirannya sudah gelap oleh kabut mengingat apa yang ayahnya lakukan kepada dia dan anaknya kemudian menganggukan kepalanya. "tentu. merrka yang bikin gue begini. gue udah cape ada di bawah kendali mereka"

jeno hanya terkekeh. "emosi lo masih keliatan di puncak gue liat liat" komentarnya.

yeji mengabaikan ucapan jeno. "jadi, apa yang harus gue lakuin sekarang?" ia bertanya.

jeno mengangkat bahu. "foto pake background biru" jawabnya enteng. yeji mengerutkan keningnya. "buat apa?"

"buat buku nikah. lo bakal tinggal disini sama gue kan? gue ngga mau berurusan sama polisi plus satpol pp akibat kita digerebek karena kumpul kebo" jeno menjawab enteng sebelum mengotak atik situs pemerintahan. mencoba mencetak buku nikah mereka sendiri.

"serius?"

ia menganggukan kepalanya. "iya. jadi silakan cari pose secantik mungkin. gue bakal cetak sendiri. buat jaga jaga kalau ada orang yang curiga sama kita. antisipasi" ia menjawab santai

"lo sebenarnya siapa jen?" yeji bertanya.

jeno mengangkat bahu. "orang yang pengen kebebasan di dunia ini. dan gue berhasil bebas dari orang tua gue dan tinggal disini"  ia menjawab asal kemudian fokus dengan komputer di hadapannya.

"lo beneran nyuruh gue foto?" yeji merapikan rambut panjangnya sambil bertanya kepada jeno. jeno menganggukan kepalanya. "kalau mau minjem kemeja gue, ambil sendiri di lemari. gue ngga akan nengok waktu lo ganti baju, tenang aja" jeno menjawab santai, fokusnya masih terlihat dengan laptop di hadapannya. tangan kanannya memegang mouse dan menggerak gerakan ke arah sesuatu yang  ada di sudut layar.

yeji menurut, mengambil kemeja yang ada di lemari milik jeno. ia juga sedikit terkejut ketika melihat bahwa lemari dari pria ini nampak rapi. semua pakaian tersusun berdasarkan warna sehingga yeji dengan mudah mendapatkan sebuah kemeja polos berwarna putih yang sedikit kebesaran pada tubuhnya. dia melepas kemeja nya menggantikan dengan milik jeno, beruntung dia memakai kaus dalam yang lebih tertutup dari biasanya.

"udah" setelah mendengar yeji berujar, dengan wajah datarnya jeno berbali. ia kemudian mengambil sebuah kamera yang ada di atas lemari kemudisn memberi kode kepada yeji untuk berdiri di salah satu dinding kosong.

ia kemudian memotret sebanyak tiga kali sebelum ia kembali duduk, memindahkan potret yang ada pada kameranya ke komputer yang ada di hadapannya. yeji bisa melihat tidak hanya foto-foto dia yang baru saja diambil oleh jeno, melainkan foto-foto mantan kekasihnya beserta temna-teman gengnya.  tidak hanya itu, ia bisa melihat foto-foto mereka dengan kekasih mereka seolah jeno menguntit mereka selama bertahun-tahun.

"mereka?" yeji bertanya. jeno menganggukan kepala. "mereka udah nyakitin gue, bisa kan gue nyakitin mereka sama kaya mereka nyakitin gue?" ia menoleh ke arah  yeji.

karena pada dasarnya perasaan sakit hati yeji sudah  mendarah daging. dia menganggukan kepalanya setuju. "lo bakal balas dendam dengan apa? apa yang bakal lo lakuin?"

"kita pasti butuh duit. ya ngga?" yeji menganggukan kepalanya setuju. mereka berdua hanyalah seorang anak sekolah menengah atas yang kabur dari orang tua mereka, yeji sih masih memiliki harta secara harfiah karena memang dia belum dicoret dari kartu keluarga walau seluruh keluarga membencinya, ah tapi dia tidak sudi untuk meminta bantuan kepada mereka.

"lalu?"

"gimana kalau kita jual mereka?" jeno memberikan penawaran. ia kemudian mengangkat bahu. "gue udah bisnis ini sejak lama, kalau lo mau tahu" dia melanjutkan ucapannya.

"lo mau jual dia?" yeji bertanya, memastikan. ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah jeno kemudian duduk di meja, di samping keyboard milik jeno dan menatap pria di hadapannya dengan kedua tangan ia silangkan di depan dada.

jeno menganggukan kepalanya. "bukan seluruh tubuh, melainkan organ dalam mereka yang harganya bisa bikin kita tidur dengan nyenyak tanpa peduli dengan uang. kita kaya, mereka yang nyakitin kita mati" jeno bersandar di kursinya sambil menaikkan kaki kanannya di atas kaki nya yang kiri.

yeji terdiam sejenak. ia kemudian tersenyum dan menganggukan kepalanya. "sure. apa yang bisa gue bantu?"

jeno tersenyum lebar. "gampang. lo tinggal ngarahin mereka ke tempat yang udah gue kasih tau. biar sisanya, gue yang urus"

—————

jangan lupa untuk tinggalkan jejak disini ya bestie! thank you for reading💗

DOUBLE TROUBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang