39. Pengakuan

2.8K 407 26
                                    

"Waktu kalian tinggal bareng kalian nggak ngapa-ngapain 'kan?"

Setelah kejadian itu, Friska banyak membrondongi Rista dengan pertanyaan-pertanyaan mengiterogasi. Rista sampai menyuruh Ferdi membatalkan niatnya untuk berkunjung. Feeling-nya berkata jika Ferdi akan berbicara jujur dan akan membuat huru-hara di rumahnya. Rista nyaman dengan ibunya sekarang, tapi di sisi lainnya agak merepotkan juga.

"Kita temen, Mi," jawab Rista yang tidak jujur, tapi tidak berbohong juga. Memilih jawaban aman. "Aga tuh rawat Zizi yang lagi sakit. Emangnya apa yang Mami pikirin?"

Friska menarik kursinya agar lebih merapat pada Rista. "Kamu ada rasa 'kan sama Aga? Mami nggak mau dengar loh kalo misalnya kamu bilang nggak tapi udah berani kayak gitu."

Rista memutar bola mata. "Mi, apa perlu aku lamar aja Aga sekarang biar Mami nggak bawel lagi?"

"Hish! Kamu ini." Friska memukul pelan lengan Rista.

Rista pun memilih untuk melahap buah-buah di depannya.

"Hari ini kamu mau jalan sama Aga, ke mana?"

"Nonton, makan, udah gitu."

"Kata lainnya kencan?"

"Nggak juga." Rista menggeram gemas.

Friska melotot.

"Eh Zizi mau siap-siap. Dadah Mami,  love you."

oOo

Rista menatap titik-titik hujan yang mengenai kaca mobil. Bibirnya sedikit melengkung ke bawah. Padahal Rista sudah membayangkan hari minggu ini akan dirinya lewati dengan penuh gembira. Dia sudah mendiskusikan tempat-tempat yang akan dikunjungi bersama Ferdi. Namun, hujan malah turun dengan deras.

Rista melihat Ferdi yang membuka jendela dan bertanya pada seseorang.

"Di depan ada apa ya, Pak?"

"Banjir Mas, ada mobil yang mesinnya mati."

"Oh iya, makasih, Pak."

Rista menghela napas, dia terlihat semakin tidak bersemangat. Ferdi pun menatap Rista dirinya pun terlihat bingung.

"Nonton aja di rumah gimana?"

Wajah Rista terlihat kusut.

"Atau mau lanjut aja?" tawar Ferdi lagi.

Rista mengusap wajahnya. "Pulang."

"Oke."

Ferdi pun bersiap untuk memutar mobilnya. Untungnya belum ada kendaraan yang menumpuk di belakang. Mereka pun melaju dalam hening. Rista memilih memperhatikan titik hujan hingga perlahan Risa baru menyadari mereka mulai memasuki kawasan apartemen. Masalahnya ini bukan gedung tempat unit Ferdi berada.

"Kita ke sini?" tanyanya memastikan.

"Gue beli tempat di sini. Belum ditempati sebenernya tapi isinya udah rapi kok. Kebetulan ini yang lebih dekat dari posisi tadi, jadi kita ke sini aja. Nggak papa?"

"Eum, nggak papa sih."

Mereka pun masuk ke basement lalu Ferdi membukakan pintu untuk Rista. Mereka menaiki lift dan Rista dibuat terdiam saat tiba. Bukan unit apartemen biasa, tapi Penthouse.

"Udah lama beli ini?"

Ferdi yang membuka pintu itu terdiam sejenak. "Sebelum waktu itu," jawabnya dengan agak menunduk.

"Nggak ngasih tau." Rista berpura-pura ngambek.

"Niatnya buat surprise, Zi."

"Surprise, emangnya Penthouse-nya buat gue?" ucap Rista bercanda. Ia melihat keadaan sekeliling hunian itu. Semuanya benar-benar sudah dalam keadaan siap ditinggali. Bahkan untuk printilan kecil pun Ferdi sudah mengisinya.

"Kebetulan ini atas nama Ziequella Floriesta."

Rista secara spontan menoleh pada Ferdi dengan mata yang membelalak.

"Dulu emang agak gila." Ferdi menggaruk kepalanya kikuk. "Sorry kalo bikin nggak nyaman. Eu, atau kita nggak perlu ke sini dan cari tempat lain aja?"

Rista mengerjap-ngerjap. "Nggak papa, di sini aja."

Ferdi mengangguk. "Mau minum apa?"

"Yang anget-anget. Terserah apa."

"Oke, tunggu."

Rista berjalan ke arah sofa yang langsung menghadap TV. Karena rencana mereka adalah menonton, Rista pun mulai mencari-cari film yang cocok.

Rista terdiam sejenak. Ia merasa ada yang mengganjal dan kembali menilik sekeliling ruangan itu. Ini hanya menuntaskan penasaran Rista, karena entah mengapa Rista merasa jika desain interior ini persis sama seperti  desain yang Rista buat beberapa tahun lalu. Waktu itu dirinya hanya iseng menggambar saat menemani Ferdi yang menyelesaikan pekerjaan di apartemen. Apa Ferdi benar-benar mengingat bahkan untuk hal sepele seperti itu?

Ferdi mendekat membawa dua mug cokelat panas. Ia membuka laci di bawah TV dan mengeluarkan selimut rajut dari sana.

"Angkat kakinya, Zi. Dingin."

Rista menarik kakinya untuk ikut ke atas dan Ferdi pun menyelimutinya. Dia menyodorkan cokelat panas itu yang diterima Rista dengan kedua tangannya.

"Nonton ini?"

"Kayaknya seru."

"Oke."

Ferdi pun duduk di samping Rista dan mulai menikmati film yang diputar. Adanya komedi dalam tag genrenya membuat beberapa kali ruangan itu dihiasi tawa Rista. Ferdi tentunya lebih tertarik untuk menonton tawa itu.

"Jangan dilihat Dek Zizi masih di bawah umur." Ferdi tiba-tiba merentangkan telapak tangannya di hadapan Rista begitu tokoh dalam film itu hendak melakukan adegan ciuman. Karena ini komedi, jangan ekpektasi lebih. Ciumannya kacau yang membuat tawa.

"Bawah umur dari mananya sih?" Dia memukul lengan Ferdi.

"Ada juga Nak Aga yang nggak boleh." Rista balas menutup mata Ferdi.

Ferdi ikut tertawa dan menangkap tangan Rista lalu menjauhkannya. Mereka saling memandang dengan tawa yang sama-sama keluar dari mulutnya. Tawa itu perlahan berhenti, tapi mereka tetap mengunci tatapan satu sama lain.

Tangan Ferdi perlahan bergerak ke arah tengkuk Rista. Sementara itu wajahnya perlahan menunduk. Tidak adanya tanda penolakan membuat Ferdi pun tidak ragu lagi untuk menjangkau bibir itu.

Ferdi merasakan sensasi lembut saat mereka bertemu, hingga gelenyar panas menyebar dan membuat pria itu tidak diam lagi. Apalagi saat Rista mengalungkan tangannya.

Ferdi melepas pagutannya. Menyatukan kening mereka sembari menetralkan napas yang sama-sama terengah.

Tanpa kata, tapi mereka seolah bisa saling mengerti isi kepala satu sama lain. Mereka terkekeh singkat di saat bersamaan. Ferdi mengecup kening Rista lalu merangkul bahu wanita itu agar bersandar padanya.

"Filmnya bagus," ucap Ferdi kembali mengomentari film yang terpotong itu.

"Ya ... lumayan." Rista terlihat lebih nyaman dengan posisinya sekarang. Filmnya sudah tidak menarik lagi. Dia lebih menikmati pada perasaan hangat yang menyelimuti dadanya kini.

"Ga ...."

"Ya?" jawab Ferdi yang kemudian diikuti kecupan singkat pada puncak kepala Rista.

"Sejak kapan lo suka gue?"

"Sejak lo selalu ada buat gue, nemenin gue di titik terendah. Lo yang ada saat gue ngerasa seluruh dunia runtuh." Ferdi tersenyum dengan tatapan nyalang. Mengingat momen-momen

"Udah lama 'kan?"

Rista bergumam-guman seraya mengangguk. "Tapi tetep duluan gue sih."

Ferdi terdiam dengan kening berkerut. "Apanya?"

Rista menegakkan tubuhnya dan menatap Ferdi dengan wajah kesal. Ferdi dibuat bingung dengan perubahan suasana hati Rista yang tiba-tiba itu. Apa barusan dirinya mengatakan kata yang salah?

"Gue yang duluan suka sama lo."

"Ha-hah?"

oOo

Relationshit [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang