Rista melenguh pelan. Tangannya langsung menutup wajah, menghalangi cahaya saat dirinya berusaha membuka kelopak mata. Terdengar ketukan-ketukan ringan dari air hujan yang mengenai jendela. Ah, Rista ketiduran di sofa.
Niatnya hanya ingin melihat pemandangan malam karena dirinya tidak bisa terpejam, tapi kemudian dirinya malah tertidur di sana. Mungkin Rista harus mengganti ranjangnya dengan sofa. Atau mungkin karena dirinya terlalu kelelahan saja sampai bisa terlelap, padahal selama di sini tidurnya selalu kacau.
Rista menyalakan ponsel, menilik pada bagian jam yang kini menunjukkan pukul 2 dini hari. Hujan malam-malam, meski tidak deras, tapi punya sensasi anehnya tersendiri. Orang bilang bunyi hujan itu menenangkan, tapi yang Rista rasakan sekarang justru semakin sepi dari setiap ketukannya.
Rista bangkit berdiri, tapi saat mau melangkah pandannya menjadi gelap. Dokter memang sudah bilang jika darah Rista rendah. Rista mencoba berjalan karena merasa hafal dengan struktur ruangannya, tapi kepalanya semakin terasa berputar. Rista pun memutuskan untuk duduk kembali.
Rista mengetuk-ngetuk kepalanya begitu ponselnya berbunyi. Belum banyak yang Rista beritahu soal nomor barunya. Dan salah satunya adalah Suster Veli. Rista segera menerima panggilan telepon itu.
"Mbak, Mas Aga kejang."
oOo
Rista memacu mobilnya dengan cepat. Suasana dini hari membuat jalanan cukup lenggang. Tak perlu waktu lama, dirinya pun sampai di rumah sakit. Dirinya memarkir tanpa banyak pertimbangan di depan, hingga membuat harus terkena gerimis saat berjalan ke arah pintu masuk.
"Mbak Zizi."
Rista mengabaikan sapaan itu. Ia kembali berlari, menelusuri lorong dengan gema langkahnya. Rista berpegangan pada kusen pintu. Ia terengah-engah. Dengan tangan yang tremor, Rista pun menekan handle pintunya. Di dalam pria itu terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan. Di sampingnya ada Ganesh yang memasang raut kaget.
"Ta?"
Rista segera masuk, ia menghampiri Ferdi yang tak sadarkan diri kemudian menggenggam tangannya. Rista menunduk, rasa sesak dalam dadanya tiba-tiba menyeruak naik. Membuat kedua matanya memanas hingga akhirnya meneteskan air mata. Rista mulai terisak.
"Ferdi udah nggak papa, Ta," ucap Ganesh mencoba menenangkan.
Bahu Rista semakin bergetar, suara tangisnya terdengar menyakitkan. "Harusnya dia baik-baik aja. Kenapa malah kayak gini, Nesh?"
"Ferdi nggak mungkin bisa baik-baik aja saat lo pergi." Ganesh memutar kursinya membuat posisinya kini membelakangi Rista. Lebih memberi ruang pada wanita itu.
"Mungkin kurang tepat kalo gue bilang ini. Ferdi sayang banget sama lo. Gue nggak pernah liat dia sayang sama orang lain lebih dari lo," ungkap Ganesh yang diiringi senyum senang berikut miris dalam satu waktu.
"Situasi kalian terlanjur sulit, Ferdi kehabisan cara buat nunjukkin perasaannya. Yang Ferdi lakuin itu salah, gue nggak bermaksud cari pembenaran buat dia, tapi dia sampe seperti itu karena putus asa. Dia nggak terlalu takut lo pergi dari dia."
Rista meremas selimut Ferdi. Ia menggigit bibir agar isakannya tidak semakin kencang. Rista tahu, bibir Ferdi sendiri yang mengatakan semuanya. Semua kesulitan pria itu selama ini sudah Rista dengar. Rista bahkan menyaksikan sendiri bagaimana tangisan putus asanya.
"Maaf ...."
"Itu bukan salah lo, Ta." Ganesh menjelaskan dengan lembut.
"Tapi Ferdi sampe kayak gitu karena kebodohan gue sendiri. Dan egoisnya gue nggak bisa nerima dan akhirnya melarikan diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Relationshit [TAMAT]
Lãng mạnFerdi berjiwa keabangan. Rista berjiwa keibuan. Ferdi kehilangan ibunya. Rista yang menemani di titik terendahnya. Ferdi itu sarampangan. Rista yang buat hidup Ferdi tertata. Ferdi nyaman dengan semua sikap Rista. Tapi Rista tetap berdeklarasi sebag...