12. Tunggu Gajian

63 10 0
                                    

Sejak hari di mana Soraya bertemu Lingga di lantai dua waktu itu, intensitas pertemuan mereka jauh lebih sering. Walaupun tidak sampai mengobrol bersama dalam waktu yang lama, setidaknya hampir setiap hari, mereka pasti berpapasan.

Selain itu, Lingga juga menjadi semakin sering berangkat ke kantor, tidak seperti biasanya. Hal itu memicu tanda tanya besar bagi para karyawan. Bahkan tak jarang dirinya menjadi bulan-bulanan mereka. Pertanyaan seperti, 'tumben?' adalah yang paling sering menjadi pembuka hari dan beruntungnya, Lingga sudah mulai membiasakan diri.

Kakaknya sendiri pun sampai dibuat kebingungan saat melihat sang adik yang hampir setiap hari berangkat ke kantor. Tidak seperti biasanya. "Lo nggak kerasukan, kan, Dek?"

Diberi pertanyaan seperti itu, Lingga otomatis mencibir. Apalagi saat sang kakak memanggilnya dengan sebutan 'Dik' begitu, duh. "Ya biarin, sih. Nggak seneng, lo?"

Vandra mendengkus. "Seneng, sih, jujur. Seenggaknya kerjaan beres, nggak perlu diingetin lagi."

"Terus kenapa sewot?"

"Siapa juga yang sewot. Mending diem deh lo! Sana balik ke ruangan lo! Belum aja gue pecat ya anjir."

"Nggak mama, nggak anaknya. Sama aja. Dikit-dikit ngancem," omel Lingga seraya berjalan cepat meninggalkan ruangan sang kakak yang hampir melemparnya dengan cangkir.

Namun, baru beberapa langkah meninggalkan ruangan sang kakak, Lingga kembali membalik tubuh dan kembali ke tempat kakaknya itu saat mengingat tujuan awal dirinya hendak menemui ayah dari si kembar tersebut.

"Bang!" panggilnya, membuat Vandra mendengkus. Hampir melanjutkan niat untuk melempar adiknya itu dengan gelas kalau saja Lingga tidak segera mengutarakan maksudnya. "Lo waktu itu nyuruh gue cari asisten, kan?"

Ayah dari dua anak itu mengerutkan dahi. "Hm. Terus?"

Lingga cengengesan. "Boleh kali gaji gue dinaikin kalo semisal gue beneran punya PA?"

Lagi-lagi, Vandra mendengkus. "Kerja aja dulu yang bener."

"Tapi jadwal gue masih berantakan!"

"Ya rapiin, lah!"

"Gak bisa."

"Ya makanya cari PA, bodoh!" Habis sudah kesabaran Vandra. Sumpah demi apa pun, ia sekarang merasa bahwa wajar saja sang ibunda selalu naik darah kalau berhadapan dengan anak bungsunya itu.

"Berarti perusahaan yang bayar, kan?"

"Lo, lah! Kan PA-nya ngurusin lo, bukan perusahaan."

"Tapi kan---"

"Kerja aja yang bener lo, anjir! Urusan PA buat lo, biar gue yang cari---"

"Jangan!" Lingga menaikkan nada suaranya, membuat kakaknya itu agak dibuat kaget karenanya. "Biar gue aja yang nyari!"

Vandra menggulirkan matanya ke sembarang arah. "Terserah."

Melihat respons sang kakak, Lingga malah semakin cengengesan. "Berarti deal, ya?" Pertanyaannya barusan, membuat Vandra mengerutkan dahi sebagai pertanda kalau lelaki itu tidak mengerti apa yang adiknya maksud.

"Apaan?" tanya lelaki yang bernama lengkap Radeska Vandra Argantara itu kepada sang adik.

Namun, seperti biasa, Lingga tetap cengar-cengir sampai giginya kering. "Gaji gue naik, kan?"

Demi Tuhan. Boleh, tidak, kalau Vandra meminta ibunya untuk memasukkan kembali Lingga ke dalam perut?

Sementara itu, Lingga yang mulai melihat tanda-tanda bahaya langsung bergegas meninggalkan ruangan sang kakak, sebelum Vandra melemparinya dengan cangkir. Ya, tentu saja ia melarikan diri sambil cengengesan juga.

Terombang-ambing Diriku Dalam Lautan PesonamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang