3. Lingga vs. World 2.0

179 19 5
                                    

Lingga memijat tengkuknya yang mendadak terasa tegang. Ia tidak tahu kenapa, tetapi sejak bangun tidur setengah jam lalu, kepalanya terasa begitu berat dan tubuhnya terasa lumayan lemas. Perasaan, kemarin dirinya tidak melakukan apa pun selain pergi meninjau lokasi ruko yang disewakan Pak Amar yang ternyata tidak berjodoh dengannya itu.

Selebihnya, sudah. Tidak ada yang terjadi, tetapi tak tahu kenapa, Lingga merasakan dirinya sedang tidak enak badan sekarang. Sejenak, ia mendudukkan bokongnya di atas tempat tidur sembari mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk. Sengaja keramas hari ini dengan niat supaya rasa pusingnya berkurang, tetapi malah sama saja. Tidak ada efek apa pun yang ia rasakan.

"Ga? Sini sarapan!" Panggilan dari sang ayah membuat Lingga mau tak mau bangkit dari duduknya. Walaupun sempat oleng sedikit karena darah rendah, tetapi lelaki itu tetap melanjutkan langkah menuju meja makan.

Dilihatnya kedua orang tuanya duduk di sana sambil menikmati sarapan mereka. "Pagi Ma, Pa," sapanya singkat. Dapat dilihat dari sudut matanya bagaimana wajah sang ibu yang tampak begitu masam. Oke, Lingga tahu alasan yang membuat sang ibunda cemberut seperti itu.

"Pagi-pagi udah cemberut aja, Ma? Kenapa sih? Ntar cepet tua, loh." Sambutan yang sangat ramah sekali, bukan? Lingga ini memang ingin dilempar garpu kali, ya?

"Sadar diri, yang bikin Mama cepet tua ya, kamu!"

"Dih?" Lingga balas menyahut. "Lagian, umur Mama juga udah tua, kali. Sadar umur, please."

"Kamu mau Mama kutuk, kah?"

"Ya---"

"Mama mending besok-besok nggak usah suruh anaknya pulang, deh, kalo tujuannya buat diajakin ribut mulu. Pusing kepala Papa denger kalian ribut terus!"

Lingga baru saja mau berbangga hati karena dibela oleh sang ayah, tetapi saat ayahnya itu kembali berujar, "Kamu juga, Ga. Sekali-kali jangan ajakin Mamamu ribut, nggak bisa, kah?"

Sepasang ibu dan anak itu seketika terdiam. Pokoknya kalau sudah sang kepala keluarga yang berbicara, mereka seketika berubah jadi penurut. Ya, walaupun saat ini keduanya sedang berperang lewat tatapan mata masing-masing, tetapi tak ada satu pun yang bersuara.

Sarapan hari itu terasa agak mencekam karena dua manusia yang sifatnya mengalahkan sifat anak-anak. Kalau saja Papa Argantara tidak memecah keheningan penuh lirikan-liran maut yang menyertai jam sarapan mereka, pasti suasana di sekitar akan terasa semakin buruk.

"Kamu hari ini ada jadwal nggak, Ga?" tanya ayah dari empat anak itu. Ah, ya. Perlu digarisbawahi. Empat anak yang dimaksud adalah dua orang anak angkat dan dua anak kandung. Memang keluarga satu ini untuk perkara penyebutan jumlah anak, sering kali agak membingungkan, sih.

Lingga yang tengah mengunyah sarapannya dengan kurang semangat, mengangkat wajah, kemudian berujar, "Nggak ada, sih, Pa. Tapi habis ini mau pulang---"

"Kamu mau Mama coret dari Kartu Keluarga, kah?" Mama Ninda bertanya sewot. "Baru juga pulang semalam, udah mau pergi lagi. Sopan, kamu begitu?"

Lelaki dengan tinggi 187 sentimeter itu seketika meringis. "Ya kirain Mama udah bosen liat anaknya," sahut Lingga kemudian. "Lagian kalo dicoret dari KK, ya tinggal bikin KK sendiri---"

"Nikah dulu, bodoh! Makanya otak dipake buat mikir!"

Ya Tuhan. Lingga ingin pensiun dini dari kehidupan, rasanya. Kenapa, sih, mulut ibunya ini sangat lemes? "Kan bikin KK baru nggak harus nikah dulu---"

"Ya udah, sana pergi aja kamu! Nggak usah balik lagi ke sini!"

"Ma ...." Papa Argantara yang merasakan hawa-hawa permusuhan penuh amarah dari sang istri, seketika menegur. "Kalian berdua ini ribut, terus. Kepala Papa hampir meledak, tau, setiap waktu dengerin kalian ribut. Nggak bisa, kah, jadi ibu dan anak yang normal-normal aja!?"

Terombang-ambing Diriku Dalam Lautan PesonamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang