29. Komitmen?

49 12 1
                                    

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi kepada anak bungsunya semalam, hingga di pagi yang cerah ini, Mama Ninda mendapati putranya itu senyum-senyum sendiri seperti orang tidak waras sambil menyuap sarapannya dengan bahagia.

Sambil berbisik kepada sang suami, Mama Ninda berujar julid, "Pa, anakmu kenapa sih itu? Curiga kerasukan setan. Bawa ke RSJ kali ya?"

Sang suami yang mendengar bisikan sang istri hanya menghela napas sambil menatap putra bungsunya sesaat, lalu mengalihkan perhatiannya kepada perempuan yang sudah dinikahinya selama puluhan tahun itu. "Palingan lagi jatuh cinta," ujarnya kemudian dengan suara pelan dan kembali kepada kegiatannya semula, scroll sosial media sambil minum teh.

Mama Ninda memicing, menatap putranya dengan tatapan aneh. "Jatuh cinta sama siapa lagi, ini anak? Giliran ditawarin sama anak-anak temen Mama nggak mau!"

Percayalah, walaupun sejak tadi ia sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya, Lingga sama sekali tidak menyadari itu. Ah, tepatnya sih, sadar, tetapi sengaja berpura-pura tidak dengar. Ia tidak mau merusak harinya yang cerah, ceria dan bahagia ini sekarang.

"Mama kayak nggak kenal anaknya aja," ujar Papa Argantara sambil menghela napas pendek. "Spek buaya kayak anak Mama yang satu itu mana mau dikenal-kenalin kayak gitu. Maunya nyari sendiri, biar sensasinya tambah mantep."

Wanita paruh baya itu berdecak. "Iya, deh, yang udah pro," sindir ibu dari dua anak perempuan dan dua anak lelaki itu sambil melipat kedua tangan di depan dada. Bukan tanpa alasan ia berkata begitu, sebab, dulu semasa masih muda, suaminya juga tak kalah buayanya seperti sang putra bungsu.

Bahkan, beberapa hari lalu, mereka baru saja menghadiri pernikahan dari cucu mantan pacar suaminya itu sewaktu SMA dulu. Oh, selain itu, mereka juga pernah menghadiri pemakaman mantan pacar Papa Argantara kira-kira dua bulan lalu yang meninggal karena suatu penyakit. Lelaki paruh baya itu bercerita kalau yang mereka hadiri pemakamannya adalah mantan kekasih yang ia pacari selama setengah tahun sewaktu SMP.

Lihat, kan? Papa Argantara saja sudah mulai menjadi buaya sejak SMP. Makanya tidak heran kalau Lingga menuruni sifat dan perilaku ayahnya yang satu itu. Beruntungnya, Lingga masih cukup tahu aturan karena sang ayah selalu berpesan, tidak apa-apa dicap buaya asal tidak sampai memakan korban. Ya, tahu lah, ya, kira-kira apa maksudnya.

"Kamu udah siapin hadiah buat ponakan-ponakan kamu?" tanya Mama Ninda kepada sang putra setelah sekian lama membiarkan anaknya itu asyik dengan dunianya sendiri, sementara ia dan sang suami sibuk berjulid ria.

Lingga yang baru saja menyuap sarapan berupa nasi goreng buatan ibunya itu mengangguk. "Udah."

"Ngadoin apa kamu tahun ini?"

"Tante baru."

"Heh!"

Karena posisinya yang duduk lebih dekat dengan sang anak, Mama Ninda langsung melayangkan tangannya untuk menabok lengan sang putra hingga si empunya mengeluh kaget. "Kenapa sih, Ma?" tanyanya sambil mengusap lengannya yang terasa panas.

"Tante-tante mana yang kamu deketin sekarang!? Dikasih yang muda sama Mama, nggak mau. Malah nyari yang udah tante-tante. Maunya apa kamu ini!?"

Lingga berdecak. "Tante buat Lau sama Vale, lah, Ma. Bukan tante-tante kek gitu yang Lingga maksud."

"Makanya kalo ngomong yang jelas! Jangan wleo-wleo nggak jelas kek gitu!"

Seperti biasa, tiada hari tanpa gelut kalau Lingga berada di rumah. Memang, ya, Lingga ini biang kerusuhan. Makanya di mana pun ia berada, pasti selalu saja berisik.

Namun, terlepas dari itu semua, tidak tahu kenapa kalau hari ini, Lingga dengan mudahnya mengalah. Bahkan sebelum sang ayah menjadi penengah di antara mereka, lelaki 27 tahun itu sudah berujar, "Iya-iya, maaf."

Terombang-ambing Diriku Dalam Lautan PesonamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang