22. Teka-teki Ajaib Lingga

49 12 2
                                    

Semua tentang Lingga adalah ajaib, tetapi ini bukan soal keajaiban. Intinya, kalau senang mencari hal-hal di luar nalar, mungkin boleh sesekali mencoba bekerja dengannya.

Soraya sendiri sudah menjadi saksi hidup yang bisa diwawancarai perkara bagaimana rasanya bekerja bersama Lingga. Mengambil contoh saat mereka akhirnya menyimpan nomor ponsel masing-masing. Dipikir tidak ada cerita di baliknya? Oh, tentu saja ada. Bukan Lingga namanya kalau tidak menjadikan sesuatu jauh lebih ribet daripada biasanya. Ketimbang langsung meminta atau menyuruh Soraya menyimpan nomor ponselnya, ia malah membuat drama baru seperti yang sudah-sudah.

Posisinya waktu itu saat mereka on the way untuk menjenguk Clarita. Sudah di mobil, nih, tetapi Lingga tiba-tiba bertanya, "Aya, kamu lihat ponsel saya, nggak?"

Ditanya begitu, Soraya yang sama sekali belum melihat atasannya itu memainkan ponselnya sejak tadi, jelas tidak tahu. Ia menggeleng sebagai jawaban. "Memangnya Kak Lingga simpen di mana tadi? Dibawa nggak, pas ke kamar kos saya?"

"Nah itu dia, saya lupa," ujar Lingga sambil membuat reaksi seolah-olah sedang mencari sesuatu yang hilang. "Boleh tolong diteleponin, nggak?"

Gadis 22 tahun itu mengangguk, seraya mengeluarkan ponselnya dari tas selempang yang ia kenakan sampai baru mengingat satu hal beberapa detik kemudian. "Eh, tapi kan saya nggak tau nomornya Kakak."

"Oh iya!" Lingga bereaksi seolah-olah ia baru saja menerima fakta baru yang sangat uwaah! Biasalah, the King of Drama. Tidak heran kalau tingkahnya memang seperti itu. "Ya udah, catat dulu nomor saya."

Karena agak polos-polos gimana, gitu, Soraya akhirnya menurut saja. Ia bahkan mendengarkan dan mengetikkan dengan serius nomor ponsel milik atasannya itu di ponselnya. Saking seriusnya, sampai-sampai ia tidak melihat bagaimana Lingga yang saat ini sedang tersenyum laknat penuh arti. Waduh, waduh, Soraya ini bagaimana sih? Apakah dirinya tidak merasakan aura-aura jahat di sekitarnya, eh?

"Udah bener, kan, nomornya, Kak?" tanya Soraya sambil menunjukkan layar ponselnya. Lingga mengangguk.

"Iya, coba kamu telepon, Ya."

Lagi-lagi, Soraya menurut. Saat dirinya menghubungi nomor milik atasannya tersebut. Tak menunggu lama, terdengar suara dari arah kemudi yang jelas-jelas di sana ada Lingga. Keduanya saling pandang selama beberapa detik, sebelum Lingga akhirnya cengar-cengir sambil meraba saku celananya sok polos. "Hehe, di saku saya, ternyata."

Dari sana Soraya sadar kalau lelaki bertubuh tinggi menjulang itu baru saja melancarkan aksi modus. Terutama setelah atasannya itu berujar, "Akhirnya saya punya nomor kamu juga, hehe."

Soraya semakin yakin kalau semua yang akan terjadi ke depannya pasti tidak akan pernah jauh-jauh dari yang namanya drama. Sejak saat itu jugalah, Soraya mulai membiasakan diri dan bersiap untuk apa pun yang terjadi selama itu berhubungan langsung dengan Lingga, sang atasan.

Akan tetapi, agaknya Soraya melupakan beberapa hal, terutama persiapan ketika menghadapi dunia kerja di Rads-fur. Terutama setelah posisinya berubah dari yang sebelumnya hanyalah seorang office girl, kini menjadi asisten pribadi. Tentu saja ia harus membiasakan diri dengan pandangan orang-orang, apalagi mengingat alasannya dipecat beberapa waktu itu.

Seminggu pertama bekerja, saat dirinya hendak membuatkan teh untuk sang atasan di dapur kantor, Soraya sempat mendengar salah dua karyawan dari divisi yang sama dengan Clarita berbicara dengan rekannya yang lain. Tidak berniat menguping, sih, tetapi ya bagaimana? Suara mereka cukup untuk didengarkan oleh orang-orang yang berada di ruang yang sama dengan mereka.

"Keknya dia lagi buatin minum buat Pak Lingga, deh," ujar salah satu yang mengenakan blouse berwana kuning muda dan rok sepan selutut. Rambutnya yang diurai terlihat panjang hingga sepunggung. "Hati-hati aja, deh, Pak Lingga. Ngerinya kalo nggak dipelet ya diracunin itu entar minumannya."

Terombang-ambing Diriku Dalam Lautan PesonamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang