26. Tempat Aman untuk Berlindung

60 13 6
                                    

Butuh waktu lebih dari lima belas menit untuk Soraya menyudahi tangisnya. Sosok yang memeluk dan menenangkannya bahkan sekarang sudah mengubah posisi jadi duduk di sampingnya dan membiarkan gadis kelahiran Oktober itu bersandar di bahunya. Tangannya pun tak berhenti menggenggam jemari Soraya dalam kehangatan hingga lama kelamaan, gadis itu merasa tenang dan tangisnya perlahan mereda.

Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Soraya adalah, "Kok, Kak Lingga bisa tahu saya di sini?"

Walaupun suara gadis itu terdengar lirih dan serak, tetapi beruntungnya Lingga--sosok yang tiba-tiba saja datang dan memberikannya pelukan hangat lengkap dengan kata-kata penenang--dapat mendengarnya dengan baik. Lelaki kelahiran Desember itu tersenyum. "Kan semalem kamu nginep di apart saya. Lupa, ya?"

Soraya yang sudah masa bodoh dengan bagaimana wajahnya sekarang karena habis menangis--yang pasti matanya bengkak dan hidungnya memerah--mengerutkan dahi bingung. "Terus? Hubungannya apa?"

Lingga tertawa. "Itu, saya tanam chip di jidat kamu," ujarnya sambil menyentil pelan dahi Soraya hingga membuat gadis itu meringis sambil memegangi jidatnya.

"Kenapa, sih, harus nyentil jidat? Sakit, tau!" protes Soraya sambil mencebikkan bibir.

"Terus kamu maunya saya apain? Saya cium mau?"

Soraya mendesis. "Kak Lingga kayak orang cabul."

"Heh!"

Walaupun tidak ada yang lucu, tetapi entah kenapa kedua manusia itu tertawa hanya karena ucapan Soraya yang terdengar asal. Setelah merasa lebih tenang setelah tertawa, gadis berusia 22 tahun itu berujar, "Tadinya, saya kira Kak Lingga itu setan."

Lingga hampir saja protes. Sudah dikatai cabul, sekarang pakai dikira setan segala, lagi! Duh, Soraya ini, ya, tidak ada takut-takutnya. Padahal, ia sedang berhadapan dengan atasannya, loh!

"Terus kalo misalnya memang iya, kenapa mau dipeluk sama setan?"

Itu adalah kalimat yang akhirnya terlontar dari bibirnya, setelah mencoba berdamai dengan keadaan. Ceilah bahasanya, berdamai dengan keadaan, konon.

Mendengar pertanyaan Lingga barusan, Soraya membuang wakahnya ke sembarang arah. "Ya, nggak apa-apa, sih," ujarnya jujur. "Seenggaknya, kan, ada yang nemenin."

Lingga meringis. "Kamu ini aneh-aneh, aja!" serunya. "Ayo pulang."

Soraya menoleh. Matanya sudah tidak semerah tadi walaupun masih ada jejak air mata di sana. "Saya belum mau pulang ke kos."

"Siapa bilang pulangnya ke kos?"

"Terus? Ke mana, dong?" Gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti, sementara Lingga yang saat ini duduk di sampingnya, tersenyum misterius sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Ke rumah saya, lah," jawab Lingga, masih dengan senyum aneh. Terlebih saat Soraya semakin memberikan tatapan bingung, lengkap dengan dahi berkerut. "Istri kan harus pulang ke rumah suami, masa gitu aja kamu nggak tau?"

"Dih!" Soraya mencibir. "Bukannya kemaren, Kak Lingga nikahnya sama tembok, ya? Atau udah nikah, kali, sama bule pas di Bali."

Lingga mengulum senyum. "Cemburu, ya? Kamu mau saya nikahin juga, nggak?"

"Nggak!" balas Soraya singkat, sambil berdiri dari duduknya dan berjalan cepat meninggalkan Lingga yang sekarang heboh sendiri mengejar langkah gadis itu. Beruntungnya ia memiliki kaki yang panjang sehingga dapat dengan mudah menyamakan langkahnya dengan sang asisten.

"Beneran, nih, nggak mau nikah sama saya?"

"Nggak dulu."

"Oh, berarti nanti-nanti mau, kan?"

Terombang-ambing Diriku Dalam Lautan PesonamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang