19. Personal Assistant Saya

51 11 2
                                    

"Pokoknya khusus hari ini, saya mau kamu agak sombong dikit, ya? Inget, harus sombong. Untuk hari ini aja."

Sepanjang jalan, Soraya dibuat bengong karena permintaan yang Lingga berikan sesaat sebelum keduanya memasuki mobil dan tancap gas ke tempat yang hendak dituju. Ia kebingungan, tetapi ya sudahlah. Toh, dasarnya juga terkadang ia lebih banyak diam karena terlalu malas bicara. Hanya kepada orang-orang tertentu saja Soraya jadi banyak bicara. Sebagai contoh, seperti bagaimana ia kepada Lingga dan Enggar, deh.

Namun, diam saja rasanya tidak cukup karena Lingga memintanya untuk menjadi sombong. Apakah kali ini, Soraya harus berakting seperti aktris sinetron atau FTV? Jika iya, waduh, itu bukan keahliannya, sih.

"Nanti kamu tunggu di luar dulu, pas saya panggil, baru kamu masuk. Oke?"

Soraya mengangguk saja saat Lingga memberikan arahan. Keduanya kemudian langsung turun dari mobil dan berjalan beriringan memasuki rumah sakit.

Ya, sesuatu tujuan awal, Lingga benar-benar mengajak Soraya--ah, ralat, asisten pribadi terbarunya--untuk menjenguk salah satu karyawan Rads-fur yang tak lain dan tak bukan adalah Clarita yang beberapa waktu lalu dilarikan ke rumah sakit. Entah apakah memang sebegitu parahnya kondisi perempuan itu sampai-sampai sudah nyaris dua Minggu, ia masih belum juga keluar dari tempat pesakitan tersebut. Makanya Lingga inisiatif untuk menjenguk. Siapa tahu bisa langsung sembuh.

Bukan tanpa alasan. Masalahnya, Clarita ini kan statusnya masih pekerja di Rads-fur. Tentunya agak kurang etis kalau harus izin berminggu-minggu seperti itu. Toh, Rads-fur menyediakan cuti, kok, untuk para karyawannya. Setahun maksimal dua kali, pula. Setelah diperiksa, Clarita bahkan belum mengambil jatah cutinya sama sekali dan memilih izin dengan alasan sakit.

Mungkin karena sistem Rads-fur agak berbeda dari yang lain, sebab kalau di tahun itu tidak mengambil cuti sama sekali, artinya di tahun depan jatah cutinya ditambah. Contohnya dari seminggu, misalnya, menjadi dua Minggu dan seterusnya tergantung situasi. Akan tetapi, tidak tahu jugalah. Soraya tidak mau mengambil pusing.

Sesuai perkataan Lingga, Soraya benar-benar menunggu di depan pintu masuk ruangan di mana Clarita dirawat, sambil menenteng keranjang berisi buah-buahan yang dibeli oleh sang atasan tadi. Gadis itu memilih memainkan ponselnya supaya tidak begitu bosan. Sesekali, ia bahkan menggembungkan pipinya karena Lingga ternyata cukup lama berbasa-basi di dalam sana.

Perhatian Soraya dari ponsel kemudian teralihkan kepada alas kaki yang sekarang dikenakannya. Senyum gadis itu mendadak mengembang saat melihat flatshoes putih gading itu melekat sempurna di kakinya dan tampak cocok ia kenakan. Sebenarnya, bukan hanya alas kakinya itu saja yang membuat Soraya tersenyum, tetapi cerita di baliknya.

Tadi setelah mandi dan berpakaian, Lingga langsung mengajaknya pergi karena dilihat-lihat, langit mulai mendung. Namun, saat hendak pergi, tiba-tiba Lingga berujar, "Kita beli sepatu dulu."

Soraya sih, tim yang iya-iya saja. Ia pikir, Lingga ingin membeli sepatu baru. Bahkan sampai keduanya tiba di salah satu toko sepatu yang letaknya tak jauh dari indekos Soraya, ia tidak berpikir macam-macam. Memang bukan termasuk toko bermerek, sih, tetapi namanya cukup besar. Merek lokal. Argashoes, namanya. Kalau tidak salah ingat yang mereka datangi sekarang adalah cabang ketiga dari total tujuh cabang yang mereka miliki.

Terlepas dari itu semua, Soraya dibuat kaget saat Lingga tiba-tiba berujar, "Pilih. Kamu suka yang mana?"

Kaget? Ya jelas, lah. Wong dirinya tidak memiliki niat untuk membeli sepatu baru, kok. Uangnya saja tidak ada. Pas-pasan, lah, untuk makan sampai bulan depan kalau dihemat-hemat. Selain itu, tujuannya kan juga menemani Lingga saja. Lalu kenapa ia disuruh memilih?

Terombang-ambing Diriku Dalam Lautan PesonamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang