Lala dan nyeri perut datang bulan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Empat tahun bersama, Adam tentu paham tanda-tanda gadisnya sedang dalam fase "sakit" tersebut. Salah satu yang Adam hafal adalah Lala yang jadi sering mengomel dengan konteks menyalahkan yang sudah lalu.
"Tuh kan, macet. Tahu gini tadi susu hangatnya nggak usah dihabisin." Lala mengeratkan pelukannya di pinggang Adam yang sedang mengendarai motor di depannya. Ia menempelkan pipi ke bahu Adam yang sedikit lebih tinggi darinya, mengerucutkan bibir menatap keramaian di sekitarnya.
"Namanya juga malam libur, Yang. Pasti ramai, macet." Adam berusaha menjelaskan dengan nada sabar. "Perutnya udah nggak sakit kan?"
Lala menggeleng. Jika diperhatikan, raut gadis itu sudah kusut bukan main. Wajahnya nampak pucat dan tidak berseri meski sudah dipoles make up sedemikian rupa.
Adam jadi khawatir.
"Kamu udah makan?"
"Iya."
"Berapa kali?"
Lala berpikir dengan malas. "Dua? Apa satu ya? Lupa," balasnya tak terlalu peduli.
Adam menghela napas. "Mampir beli makan dulu ya. Kamu mau apa?" tanyanya sembari melajukan motor yang mulai bergerak di tengah rentetan pengendara.
"Aku capek mikir."
"Beli bento ya? Nanti pilih yang ada sayurnya. Kamu harus makan nasi."
Lala mengangguk seadanya. Ia masih menempelkan pipi sebelah kanannya ke bahu Adam dan ekspresinya makin mencebik cemberut.
"Kamu ganti parfume ya, Ay?"
Adam mengernyit. "Nggak kok." Ia langsung menyadari maksud pertanyaan Lala. "Yang kamu pakai itu jaketnya Ardan, tadi aku pinjem biar ukurannya lebih besar dan lebih hangat."
"Oh." Lala lebih suka aroma Adam.
Adam mengedarkan pandang. Bagaimanapun, kemacetan ini tidak akan selesai dalam waktu yang singkat. Ia tidak mau membiarkan gadisnya menunggu dengan perasaan gundah.
Sepasang mata Adam membinar ketika melihat dua orang penyanyi jalanan dengan ukulele berdiri tak jauh dari motornya. Ia lekas memberi gesture memanggil, membuat dua penyanyi jalanan itu mendekat ke arahnya.
"Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya salah satu yang membawa kaleng berisikan uang.
"Bisa request lagu nggak, Mas?"
"Hah?" Suara klakson terdengar, kerumunan kendaraan itu bergerak beberapa meter sebelum kembali berhenti.
Adam mengulang pertanyaannya, "Mau request lagu. Boleh?"
"Boleh, Mas." Yang membawa ukulele langsung sigap menjawab dan mempersiapkan diri. "Mau lagu apa, Mas?"
Lala yang awalnya tak mau peduli karena sibuk dengan rasa sakit di perutnya, kini menegapkan tubuh karena penasaran. Ia menatap tak mengerti pada dua pengamen jalanan yang menunggu jawaban Adam.
"Kamu ngapain, Ay?"
"Udah, tunggu aja." Adam sejenak menoleh pada Lala yang menegurnya, sebelum kembali pada pengamen yang menunggu di hadapannya.
"Lagu Cinta Pantai Bali. Bisa?"
Dua pengamen itu nampak kebingingan.
Lala juga ikut mengerutkan kening, lalu refleks memukul pelan punggung Adam ketika cowok itu mulai bernyanyi dengan suara sumbangnya.
"Kubuat kau selalu tersenyum."
Pengamen jalanan itu mengerti, familiar dengan lagunya dan mulai menyanyi lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate
Teen FictionLala terjebak friendzone dengan Julian, sahabat sekaligus tetangga rumahnya. Lala yang tidak seberani itu untuk mengungkapkan, malah sering menjadi perantara untuk Julian berkenalan dengan teman-temannya yang menyimpan rasa pada cowok itu. Kemudian...