BAB 2
Namanya Lala***
Julian mendecak samar. Berjalan sedikit tertatih di koridor sekolah yang masih sepi karena sekarang masih masuk jam pelajaran. Cowok yang memakai pakaian olahraga itu sedikit melirik, mengamati riuh rendah suasana di dalam kelas tanpa minat.
Julian melengos samar, tak terlalu menaruh peduli. Kini semakin mempercepat langkah menuju ke ruang kesehatan yang terletak di ujung lorong. Meski gerakannya itu justru membuatnya meringis merasakan nyeri di pergelangan kakinya.
Julian mengumpat, merasa kesal mengingat kecerobohannya yang tadi hilang keseimbangan dan jatuh saat mengejar bola basket. Cowok itu seharusnya baik-baik saja jika ia tidak lupa dan malah menggunakan engkel kanannya sebagai tumpuan.
Hal yang membuat guru olahraga dan teman-temannya panik secara berlebihan. Mengingat apa yang pernah Julian alami tahun lalu. Mereka bahkan langsung mengusir Julian dan menyuruh cowok bule itu pergi ke ruang kesehatan secepat mungkin.
Julian menarik napas. Begitu sampai di depan ruangan dengan tanda khas rumah sakit berwarna merah, cowok itu segera membuka pintunya dan masuk ke dalam.
"Loh, Julian." Julian meringis mendengar sambutan bernada memekik yang sedikit berlebihan itu. "What happen? Kamu sakit?"
Julian menggeleng, berusaha untuk memasang ekspresi semeyakinkan mungkin. "Nggak kok, Mbak." Cowok itu sejenak mengulum bibir. "Tadi cuma kesleo dikit."
Jika Julian pikir jawabannya akan menenangkan Mbak Riri, maka ia salah besar. Karena nyatanya sekarang, suster penjaga ruang kesehatan itu makin heboh dan segera mendekati Julian untuk membantunya menuju ke ranjang.
"Kok bisa kesleo sih, Ju? Kamu latihan voli sampai malam lagi?" tanya Mbak Riri sambil membantu Julian membuka sepatunya setelah cowok itu duduk dengan tenang di atas kasur.
Julian mencebik, sedikit merasa malu karena dulu sering datang ke ruang kesehatan setelah kelelahan berlatih menjelang suatu kompetisi. Mungkin karena kebiasaan itu, Mbak Riri merasa lebih khawatir melihat Julian datang lagi setelah sekian bulan tidak pernah berkunjung.
"Tadi jatuh waktu main basket," kata cowok itu, sedikit meringis ketika Mbak Riri menggerakkan pergelangan kakinya dengan gerakan memutar.
Mbak Riri menghela napas. "Kamu itu ya, aneh-aneh aja. Atlet voli kok main basket," cibirnya yang hanya dibalas cengiran oleh Julian. "Ini nggak terlalu parah sih, Ju. Mau diurut apa gimana?"
Julian menggeleng. "Minta salepnya aja, Mbak," sahutnya kemudian. Bukan apa-apa, Julian hanya tidak mau terlihat lemah dan manja karena biasanya, cowok itu akan menangis ketika engkelnya yang sakit dipijit oleh tukang urut.
Mbak Riri mendengkus, tak mau terlalu memaksa. Ia akhirnya berbalik, melangkah menuju ke kotak obat di sudut ruangan dan mencarikan salep untuk Julian.
Meninggalkan Julian yang jadi menggaruk belakang kepalanya. Karena tidak tahu harus melakukan apa, cowok itu akhirnya bergerak kecil dan mengubah posisinya menjadi berbaring telentang.
Julian mengerjap, menatapi langit-langit ruangan dengan pandangan menerawang. Hening merambat perlahan. Hanya terdengar suara Mbak Riri yang masih sibuk mencarikan salep di kotak obat.
Sesuatu yang membuat Julian merasa lebih nyaman dari sebelumnya. Kaki kanannya memang masih terasa sakit, tapi cowok itu tidak terlalu menaruh peduli.
Julian menarik napas. Ketika kelopak matanya mulai memberat dihinggapi kantuk, suara ribut dari pintu yang terbuka langsung menyentak cowok itu keluar dari tidur ayamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate
Teen FictionLala terjebak friendzone dengan Julian, sahabat sekaligus tetangga rumahnya. Lala yang tidak seberani itu untuk mengungkapkan, malah sering menjadi perantara untuk Julian berkenalan dengan teman-temannya yang menyimpan rasa pada cowok itu. Kemudian...