BAB 16

121 23 18
                                    

BAB 16
Topeng

***

"Jadi klub theater kita mau bikin pertunjukan gitu, Daf. Sekitar akhir tahun gitu. Mungkin pertengahan Desember."

Lala menyodorkan proposal di tangannya ke arah Daffa, si ketua OSIS, yang langsung menerimanya sambil mengangguk. Gadis yang rambut panjangnya diikat ekor kuda itu menyengir, sejenak membiarkan Daffa membaca lembar berjilid yang baru saja ia berikan.

Kini, pada jam pulang sekolah ini, Lala sedang ada di depan ruang OSIS. Ia memang sengaja datang untuk memberikan proposal rencana kegiatan pementasan theater. Karena membawa nama sekolah, gadis itu wajib mendapatkan izin, salah satunya adalah dari ketua OSIS.

"Ini lo udah minta izin sama guru belum?" tanya Daffa setelah beberapa kali memindai dan membaca sekilas.

Lala mengangguk. "Kemarin gue ke Bu Rima. Katanya boleh, tapi koordinasi dulu sama anak OSIS," jawabnya seadanya. "Kalau pas tanggal itu ada acara lain, kita bisa tunda kok. Tapi ya, mungkin cuma sehari-dua hari."

Daffa manggut-manggut mengerti. "Tanggal ini sih belum ada acara apa-apa. Tapi akhir tahun kita biasanya sibuk banget," jelasnya, lalu kembali melanjutkan, "Jadi kayaknya kita dari OSIS nggak bisa bantu-bantu persiapan. Nggak apa-apa?"

"Iya, iya. Nggak apa-apa kok." Lala menyahut secepat yang ia bisa, merasa mulai mendapatkan titik terang. "Kita juga udah minta bantuan anak-anak klub seni yang lain. Temen-temen dari klub jurnalistik juga katanya mau bantuin kok."

Daffa tersenyum kecil. "Gesit juga ya lo," komentarnya yang hanya dibalas cengiran oleh Lala. "Omong-omong, acaranya di gedung auditorium depan sekolah itu, La?"

Lala mengerjap sebentar. "Iya di sana. Sebenernya mau di tempat yang lebih luas, tapi dananya belum cukup. Mungkin tahun depan," ringisnya bicara jujur. "Kita juga udah biasa latihan di sana sih, Daf. Jadi buat izin dan segala macam, udah amanlah."

"Oke, kalau gitu." Daffa membuka kembali lembar pengesahan di bagian awal proposal. "Gue tanda tangan di sini kan, ya?"

Lala mengangguk lagi. "Iya. Bener," pintanya sambil menunjuk kecil ke tempat yang dimaksudkan. "Itu nama lo nggak salah tulis kan, ya?"

Daffa membaca kembali tulisan nama lengkapnya, lalu menggeleng sambil tertawa kecil. "Nggak kok. Udah bener," katanya kemudian. "Jarang sih, ada yang sekali tulis langsung bener gini."

Lala menyengir saja. Lalu berikutnya, gadis mungil itu mengangguk kecil ketika Daffa minta izin sebentar masuk ke ruang OSIS untuk mengambil pena yang ketinggalan dibawa.

Meninggalkan Lala yang jadi mengembuskan napas dengan senyum yang perlahan melebar. Merasa senang karena berhasil mendapatkan tanda tangan si ketua OSIS tanpa halangan yang berarti.

Tinggal Bu Rima sama Pak Kepala Sekolah, batin gadis itu sambil mengedarkan pandang, mendaftar nama-nama yang harus segera ia temui secepat mungkin.

Sampai Lala mendadak terkesiap, melihat sekelebat cowok familiar yang berjalan cepat di koridor seberang tempatnya berdiri. Cowok itu nampak terburu dengan ponsel tergenggam erat di samping telinga kiri.

Adam.

Lala membulatkan mata. Bahkan hanya dengan melihat cowok jangkung itu lewat beberapa meter darinya, bibir Lala sudah terasa berkedut menahan senyum.

Apalagi ketika gadis itu teringat percakapan aneh di depan kamar indekos Adam tempo hari.

Jatra. Kepanjangan dari Anjani dan Rajaputra.

Lala mendengkus, hampir saja mengumpat geli. Meski Lala tetap diam-diam merasakan hangat di dada serta kedua pipinya saat mengulang nama kucing itu dalam hati.

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang