BAB 29
Melawan***
Lala meremas ujung roknya sendiri dengan tangan berkeringat. Kepalanya menunduk, pura-pura fokus membaca buku di atas meja meski telinganya tetap awas mendengarkan tiap kalimat yang mendengung di sekitarnya.
Sekarang sudah lewat sepuluh menit sejak bel pulang berbunyi, tapi kelas Lala masih terlihat ramai karena mereka harus membicarakan pentas seni akhir tahun nanti.
Sebenarnya Lala tak masalah pulang terlambat atau apapun itu. Hal yang membuat gadis itu tidak nyaman adalah perkataan orang-orang di kelasnya.
"Bikin drama aja," celetuk seorang gadis dari deretan belakang ketika si ketua kelas meminta pendapat. "Drama kehidupan. Judulnya 'Pacarku Pelatihku'. Dijamin laris!"
Semuanya tertawa cekikikan sambil menoleh terang-terangan ke arah Lala.
Membuat Lala makin menundukkan kepala dan bergetar sendiri.
Mesti tak mendapat perlakuan tidak menyenangkan secara langsung, dalam artian kekerasan fisik, tapi Lala tetap merasa ketakutan.
Mereka memang hanya melontarkan celetukan spontan, bersikap seperti sedang bercanda yang anehnya tetap disambut tawa oleh yang lainnya. Seolah menyudutkan seseorang adalah hal menyenangkan dan lumrah dilakukan.
Tapi Lala tetap merasa sesak dan mual. Keadaan ini pasti akan bertahan selama beberapa minggu, terus menjadi perbincangan.
Apa Lala bisa bertahan?
Gadis itu tersenyum miris. Kini melirik kecil ke arah Tara yang duduk membelakanginya, sedang berbincang seru dengan murid lain sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya. Seolah tak mendengar sindiran bernada sinis yang terarah pada Lala.
Bahkan tadi pagi, Tara tak bertanya apa-apa padanya dan langsung pindah tempat duduk begitu saja.
Lala merasa dikhianati, tapi gadis itu mencoba untuk memahami posisi Tara.
Orang-orang seperti Lala dan Tara, yang selama ini berada di deretan bawah dalam "piramida makanan" kelas, tentu tak bisa melakukan apa-apa selain pasrah mengikuti arus.
Tara pasti tak bermaksud menjauh darinya, tapi gadis itu harus. Karena jika tidak, Tara juga akan menjadi sasaran untuk direndahkan.
Begitulah.
Sekolah yang katanya rumah kedua, kelas yang katanya satu keluarga. Kenyataannya tak lebih dari kumpulan orang yang masing-masing memegang pisau di balik punggung, saling bersiap untuk menusuk.
Siapa yang lemah, maka dia yang akan kalah.
Sialnya, masalah video-video itu membuat Lala terinjak menjadi pihak lemah.
Ia benci sistem superioritas dalam kelasnya. Tapi, sebagai rantai terbawah, gadis itu tak bisa melakukan apapun selain mengangguk patuh.
Karena seperti ulat bulu yang hanya bisa menggeliat ketika diinjak. Begitulah kedudukan Lala dalam kelas ini.
"Jadi buat pensi, kita sepakat buat vokal grup ya. Semua harus ikut partisipasi, jangan ada yang cuma diem," putus Ketua Kelas, menutup rapat singkat sore itu. "Sekarang boleh pulang. Buat jadwal latihan nanti gue kabarin lagi."
Lala mengatupkan bibir, tak langsung beranjak dan memilih untuk membiarkan semua orang keluar terlebih dahulu.
Barulah ketika suasana kelas mulai menghening, Lala menarik napas. Mencoba menguatkan diri sendiri. Meski tanpa bisa dicegah, kedua matanya terasa menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate
Teen FictionLala terjebak friendzone dengan Julian, sahabat sekaligus tetangga rumahnya. Lala yang tidak seberani itu untuk mengungkapkan, malah sering menjadi perantara untuk Julian berkenalan dengan teman-temannya yang menyimpan rasa pada cowok itu. Kemudian...