EPILOG

104 3 0
                                    

EPILOG
Soulmate

***

Dunia berputar sangat cepat. Setelah selamat tinggal, datang halo yang baru. Setelah kecewa, marah, dan luka, datang bahagia dan tawa dalam bentuknya masing-masing.

Orang bilang, hidup penuh kejutan tak terduga. Sesuatu yang dianggap akan terjadi, nyatanya tak menjadi. Sesuatu yang dianggap mustahil, nyatanya berhasil.

Tapi itulah yang membuatnya disebut hidup: segalanya penuh dengan ketidakpastian.

Lala menarik napas. Berdiri tegap di teras rumahnya sambil merapikan kemeja putih dan rok span hitamnya. Gadis itu lalu menoleh, merasakan ada yang memperhatikannya dari samping.

Seulas senyum terbit tanpa bisa dicegah. "Mau berangkat kerja, La?"

Lala melengos, agak jengah tapi juga geli mendengar pertanyaan itu. "Lo pikir? Dengan baju kayak gini, gue mau ngapain? Ternak lele?" sahutnya asal, agak mencibir.

Julian, cowok yang sudah terlihat rapi dengan baju batik lengan panjang dan celana bahan warna hitam itu hanya menyengir kecil. "Basa-basi aja, La. Orang dewasa kan emang suka gitu," balasnya sambil tertawa sekilas.

Lala mengatupkan bibir. Dewasa, ya? Sudah genap lima tahun setelah Lala melewati usia dua puluh tahun, tapi gadis itu merasa belum mampu mendefinisikan kata dewasa.

Sebenarnya, dewasa itu seperti apa? Apakah berangkat kerja setiap pagi, beramah-tamah dengan teman kantor, pulang di senja hari, lalu melembur pekerjaan saat malam hari, adalah arti dari dewasa?

"Mau bareng, nggak?"

Pertanyaan Julian menyadarkan Lala dari lamunan. Membuat gadis itu kembali memusatkan pandangan pada cowok yang sudah duduk di atas motornya.

"Lo mau anter gue ke kantor? Yakin?" sahut Lala sambil menyipitkan mata. "Ini udah hampir jam tujuh, ya kali, Yan."

Julian mendecak kecewa. "Duh, La. Itu tuh juga basa-basi," balasnya sambil bersiap memakai helm.

Lala hampir saja mengumpat kesal, tapi berusaha menahan diri sebanyak yang ia bisa. "Omong-omong." Gadis itu sejenak mengamati penampilan Julian dengan tatapan menilai. "Lo mau kondangan apa ke sekolah sih? Pakai batik segala."

Dari balik kaca helmnya yang diturunkan menutupi wajah, Julian terlihat melotot tak terima. "He, sembarangan." Cowok itu mulai menyalakan mesin motornya. "Hari ini ada pertemuan wali murid. Nggak mungkin kan gue berangkat cuma pakai kaos sama trainning olahraga?"

Lala mendengkus kecil. "Iya deh, Pak Guru." Gadis itu tertawa riang karena merasa berhasil mengerjai Julian yang kini sudah menaikkan kembali kaca helmnya.

"Diem deh, La. Gini-gini gue mencerdaskan anak bangsa ya." Julian berusaha tetap terlihat pongah dan sombong.

Lala menatap penuh hinaan. Tapi memilih untuk tak menanggapi apa-apa dan hanya manggut-manggut asal seolah setuju atas apa saja yang dikatakan oleh Julian.

Enam tahun yang lalu, Julian yang gagal di seleksi masuk pelatnas karena cidera engkelnya kambuh, tiba-tiba saja banting stir masuk ke jurusan pendidikan. Lala awalnya khawatir, tentu saja. Baginya, Julian sedang dalam keadaan tidak rasional untuk menentukan pilihan.

Tapi Julian tetap tidak goyah. Cowok itu berkata dengan nada yakin, selama tidak jauh dari olahraga, ia akan baik-baik saja.

Lalu sudah. Empat tahun kemudian, Julian lulus dengan nilai cukup tinggi dan diterima bekerja di SMA swasta bergaji fantastis sebagai guru pendidikan jasmani.

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang