BAB 30

107 22 19
                                    

BAB 30
Janji

***

Lala mengedipkan mata. Berbaring telentang di atas kasur kamarnya sambil menatapi langit-langit. Kepalanya berada di tepi ranjang, membuat rambutnya yang basah menjuntai begitu saja.

Gadis itu merapatkan bibir, agak melirik ke arah kotak martabak yang berada di atas meja kecil dekat tempat tidur. Pemberian Julian beberapa jam yang lalu, tapi belum disentuh sama sekali.

Padahal biasanya, Lala akan langsung tancap gas dan lupa pada semua masalahnya jika sudah menyangkut martabak. Sayangnya, sesuatu yang ada di pikiran gadis itu terlalu besar untuk dilarutkan oleh sekotak martabak daging.

Lala bergerak kecil, sedikit mengubah posisi tidur menjadi menyamping ke arah kanan. Menatap samar benda berbentuh pipih yang tergeletak tak jauh dari tempatnya tertidur.

Lala menarik napas, lalu menjukurkan tangan meraih ponselnya. Notifikasi ramai yang tempo hari sempat datang membanjiri, kini sudah benar-benar menghilang karena Julian sengaja mencopot pemasangan beberapa aplikasi sosial media.

Entah Lala harus merasa lega atau makin tak tenang. Karena mungkin saja, tindakan itu menjadi pembenaran atas tuduhan-tuduhan yang beredar seenaknya di luar sana.

Berpacaran dengan Bobby?

Lala rasanya ingin tertawa keras sampai tenggorokannya sakit. Bagaimana mungkin gadis itu berpacaran dengan seseorang yang sangat ia segani? Bagaimana mungkin ... Lala menyukai pelatihnya sendiri?

Gila.

Lala menggeleng kecil. Berusaha untuk tak teralihkan dan kembali memikirkan masalah yang lalu, ia akhirnya membuka satu-satunya aplikasi sosial media yang masih tersisa di ponselnya.

Gadis itu menggulir room chat WhatsApp miliknya, lalu memilih di salah satu nama kontak. Perlahan membaca balon pesan terakhir yang ia kirimkan dua hari kemarin.

'Di mana? Ada yang mau gue omongin. Penting.'

Tapi tidak ada balasan. Hanya ada satu tanda centang yang menandakan pesan itu belum sampai ke tujuannya. Ke nomor ponsel Adam.

Membuat Lala tanpa sadar meredupkan pandang. Merasa takut sekaligus khawatir. Ia takut Adam akan menghilang lagi.

Lala sebenarnya bisa saja bertanya ke Julian. Tapi toh, gadis itu tetap menyimpan bingungnya sendiri. Tidak mau menyusahkan Julian, apalagi porda tinggal menghitung hari.

Lala menelan ludah. Akhirnya kembali meletakkan ponsel dan melanjutkan acara melamunnya. Meski pandangan gadis itu tak sengaja jatuh pada kardus yang berada di sudut kamar dekat meja belajar.

Lala tersentak, tapi berikutnya mengernyitkan kening. Merasa asing dengan kardus itu. Ia akhirnya memutuskan untuk bangkit berdiri dan melangkah mendekat, merasa penasaran.

Sembari mendudukkan diri di lantai kamar yang dingin, Lala perlahan membuka kardus tadi. Lalu tanpa bisa dicegah, sepasang mata bulat gadis itu melebar kaget.

Melihat beberapa tumpuk naskah pertunjukan yang memang Lala kumpulkan sejak saat pertama kali ia bergabung di klub theater. Bahkan ada jadwal kegiatan yang dulu sengaja Lala buat untuk mengatur waktunya.

Lala mengerjap. Makin merasa emosional ketika mengeluarkan satu persatu kertas bekas yang sudah berbau apak itu.

"Maaf, Delia. Keputusan ini juga berat. Tapi Ibu harap, sebelum dikeluarkan, kamu punya inisiatif baik untuk mengundurkan diri. Demi pertunjukan, demi klub theater."

Lala tertawa kering. Gadis itu berusaha mati-matian untuk tidak menangis. Tapi lelehan air mata di pipinya juga tak bisa ditahan lebih lama.

"Lala jangan cengeng," lirihnya mencoba menahan isak. Ia mengusap kasar kedua matanya. "Dunia nggak akan runtuh cuma gara-gara gue nggak main theater kok."

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang