BAB 7

155 28 21
                                    

BAB 7
Curhat

***

Dengan napas yang sedikit terengah kelelahan, Julian menimang-nimang bola voli di tangannya. Pandangan cowok itu tertuju lurus, menatap enam orang di seberang net yang sudah siap menerima pukulan bola darinya.

Julian menarik napas. Setelah merasa cukup yakin, cowok itu berlari kecil dari tempatnya melakukan ancang-ancang, lalu melompat tepat dua senti dari garis belakang. Tangannya bergerak kuat dan cepat mengirimkan bola yang menghujam tajam ke lapangan lawan.

"Nice service, Julian!"

Dhito, pelatih muda yang pada latihan ini duduk di bangku wasit, refleks meneriakkan kalimat pujian ke Julian sambil bersidakap dan tersenyum puas.

Tapi pertandingan sparring itu belum selesai. Papan skor masih menunjukkan angka 24-23 untuk tim Julian, tim inti porda bulan depan. Sebutan mereka adalah Tim Elang. Sementara lawannya, mereka dipanggil Tim Rajawali.

Kini hanya tersisa satu poin, baik untuk menyelesaikan pertandingan ataupun memperpanjang perlawanan.

Bola hasil servis dari Julian masih bisa diterima. Meski arahnya tak begitu baik dan langsung mengarah ke lapangan Tim Elang tanpa sempat diolah menjadi serangan.

Nino segera menghampiri bola yang melambung ke dekatnya. Cowok itu lalu mengirimkan passing bawah yang cukup terukur pada Adam yang telah bersiap di depan net.

Adam, sebagai tosser, mengangkat bola menggunakan ujung-ujung jari tangannya. Tapi bukannya mendorong bola tersebut maju ke arah Ardan, cowok jangkung itu justru melentingkan bola ke arah belakang.

Memberikan umpan terukur pada Julian yang muncul tak terduga dari belakang. Cowok bule itu langsung melompat, lalu menghujamkan bola tanggung dari Adam ke lapangan lawan tanpa bisa dibendung lagi.

Papan skor berubah, 25-23. Pertandingan set ketiga berakhir. Tim Elang menang dengan skor agregat 3-0. Kemenangan mutlak.

Semua pemain bersalaman di depan net. Tidak ada yang menunjukkan ekspresi keruh, junior-junior dari Tim Rajawali justru mengangguk hormat dan tersenyum memberi semangat pada senior mereka yang sebentar lagi akan menghadapi pertandingan penting.

Dhito melangkah turun dari kursi wasit. Ia menepuk satu-persatu bahu anak didiknya, lalu sejenak berhenti lama di hadapan Adam dan Julian.

"Chemistry kalian bagus. Saya nggak nyangka Julian akan muncul di poin terakhir tadi," komentarnya dengan tawa renyah penuh kebanggaan. "Pertahankan. Kalau bermain begini terus, saya yakin emas porda sudah dalam genggaman."

Julian sedikit membusungkan dada. Senyumnya perlahan melebar. Begitu pelatih memberikan instruksi untuk membubarkan diri dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan area latihan, teman-teman di sekelilingnya tiba-tiba saja mengerumun.

"Dih, yang dapat pujian dari Mas Dhito. Semringah amat?" sindir Ardan sambil mendengkus dan mengelap titik-titik keringat di dahinya. "Iri nih gue, iri."

Gibran mengangguk, sejenak menelan tegukan air mineralnya. "Gila sih, Ju. Nggak pernah gue lihat Mas Dhito ketawa kayak gitu. Agak serem juga ya," sahutnya kemudian.

Nino mengangguk heboh. Sebagai orang yang sering menjadi korban kekejaman Dhito yang serba disiplin, cowok itu tentu bersemangat penuh untuk membahas ini.

"Creepy, njir. Biasanya marah-marah gitu." Nino mencebikkan bibir. "Padahal gue tadi juga ngasih angka. Kayaknya itu orang udah dendam kesumat deh sama gue. Parah sih."

Sementara Aksa hanya mencibir, tak banyak menanggapi. Ia lalu terbahak melihat Nino yang mulai mengomel panjang-lebar tentang perlakuan buruk yang selama ini dilakukan Dito kepadanya. Sebenarnya wajar saja, apalagi Nino tidak pernah kenal kata disiplin dan tepat waktu.

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang