PROLOG

597 49 6
                                    

PROLOG
Cerita Kita

***

Dari semua latihan yang biasa tim voli lakukan, Adam paling benci latihan fisik. Dhito, pelatih tim voli, yang tak pernah main-main dalam setiap sesi latihan, sering kali memberikan target yang di luar nalar manusia normal. Lari keliling gedung olahraga sekolah dua puluh kali, push up dan sit up minimal lima set alias lima puluh kali, belum lagi shuttle run yang hanya diberi waktu sekian menit. Lebih menyebalkannya lagi, Dhito sering tiba-tiba muncul dan dengan entengnya mengubah sesi latihan biasa menjadi latihan fisik.

"Makanya kamu kurangin rokok. Saya nggak peduli sama kesehatanmu, saya cuma nggak mau kamu mengganggu performa tim." Begitu cecar pelatih berkacamata itu ketika melihat Adam ngos-ngosan di pinggir lapangan voli indoor setelah lari dua puluh putaran.

Adam rasanya ingin melayangkan protes, juga mengumpat saking kesalnya. Ini bukan karena Adam merokok atau apa—lagipula belakangan ia sudah berhenti. Seharusnya Dhito ini muhasabah diri agar tahu bahwa sesi latihan fisiknya sudah tidak manusiawi untuk ukuran murid SMA yang hanya akan mengikuti kejuaraan porda.

Tapi sadar bahwa melawan Dhito hanya akan membuat Adam terlibat dalam masalah yang lebih besar—seperti disuruh lari sepuluh putaran lagi, misalnya. Cowok jangkung itu memilih untuk menahan rasa kesalnya.

Adam melirik ketika merasakan seseorang berdiri di sebelahnya. Dhito sudah berjalan menjauh, ganti menghampiri Elnino yang benar-benar kehabisan napas dan menjadikan cowok itu sebagai bulan-bulanan. Adam mendengus, kebiasaan Dhito menjatuhkan mental anak didiknya adalah satu dari sekian banyak hal tentang Dhito yang tidak Adam suka.

"Lo udah selesai pindahan?"

Adam menoleh, hampir saja lupa pada presensi Julian Abi yang kini melakukan peregangan ringan di sampingnya. "Udah, nanti anak-anak katanya mau mampir bantu beres-beres," sahutnya, masih sambil mengatur napas. "Lo ikutan?"

"Nggak dulu deh." Julian menyengir, sementara Adam memasang wajah kecewa dengan berlebihan. "Gue udah ada janji, elah." Ia memberikan alasan.

Adam masih menunjukkan ekspresi penuh drama. "Sepenting apa janji lo sampai gue jadi nomer dua, Ju?" tanyanya yang kali ini membuat Julian tak tahan untuk tidak memukul kepalanya, geli.

"Anjir lo, Dam." Julian bahkan mengumpat, meski harus tetap menekan volume suaranya agar Dhito di ujung sana tidak bisa mendengar.

Adam, lagi-lagi hanya menyengir garing. "Eh tapi serius. Lo ada janji apaan deh, Ju?" tanyanya penasaran juga.

"Adalah," jawab Julian tak mau spesifik, apalagi Dhito sudah memberi perintah untuk segera mengambil posisi push up. "Sama Lala."

Adam terkesiap, tapi ia berusaha menutupi reaksinya. Cowok itu segera mengikuti Julian ke tengah lapangan dan berderet memgambil posisi push up. Sebelum mulai, Adam sempat-sempatnya menggoda Nino yang sudah memasang ekspresi keruh karena tadi disemprot habis-habisan oleh Dhito.

"Diem lo, anjing."

Kali ini Adam tertawa, untung saja Dhito sedang mengambil peluit di dalam tas dan tak mendengar. Detik berikutnya, ia berusaha fokus pada hitungan push up yang dipimpin oleh Dhito. Meski Adam beberapa kali turun terlalu cepat sampai kakinya ditendang oleh si pelatih macan.

Adam mengumpat dalam hati.

Adam mengumpat dalam hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang