BAB 11

157 28 19
                                    

BAB 11
Rutinitas Baru

***

Lala menghela napas. Duduk di depan cermin riasnya sambil menatapi pantulan wajah yang dilapisi make up tipis. Gadis itu berdeham, lalu perlahan menegapkan punggung.

Teringat lagi pujian yang Bobby berikan untuk penampilannya dalam seleksi tadi pagi. Sesuatu yang membuat Lala dapat sedikit mengurangi rasa cemasnya akan hasil seleksi yang akan diumumkan besok.

Lala membinarkan mata. Senyumnya belum terlihat luntur, bahkan kini makin melebar sampai gadis itu tanpa sadar sudah cengar-cengir sendiri penuh buncahan bahagia.

Gue yakin lo bisa kok.

Lala tersentak. Tiba-tiba saja teringat ucapan Adam tempo hari. Kalimat yang sepertinya ikut menyalurkan energi tambahan bagi Lala untuk mengikuti seleksi hari ini.

Gadis mungil itu mengerjap, lalu beranjak begitu saja mendekati ponselnya yang sedang mengisi daya di sudut kamar. Lala menggigit bibir, membuka sebuah room chat yang ada di daftar teratas karena baru-baru ini berkirim pesan dengannya.

Lala menelan teguk. Tanpa sadar membaca satu-persatu balon pesan berbalas di room chat kontak yang ia simpan dengan nama Adam.

Tidak ada yang penting. Justru terakhir kali, keduanya malah membahas kucing liar komplek yang lama tak terlihat.

Lala tersenyum samar. Kedua ibu jarinya saling memutar di atas layar ponsel, bersiap untuk mengetikkan pesan. Tapi sampai sepuluh menit berlalu, gadis mungil itu tak bisa menemukan satupun topik pembicaraan.

Lala mendecak, memilih untuk kembali meletakkan ponselnya dan melanjutkan niatnya membersihkan sisa make up yang sempat tertunda. Dalam hati sudah mengomel gemas sendiri.

Belakangan ini, mungkin karena sering bertemuㅡterlalu sering bertemu, Lala jadi memikirkan Adam. Setiap tak sengaja lewat di depan kedai kopi, Lala ingat bagaimana Adam sangat menyukai minuman pahit itu.

Bahkan ketika sang ayah sedang menonton televisi dan tak sengaja berhenti di channel yang sedang menayangkan serial kartun Naruto, Lala langsung melompat antusias. Jelas Adam dan Naruto adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.

Lala mendengkus. Sepertinya, sesuatu yang salah sedang terjadi dalam kepalanya.

Atau mungkin hatinya?

"Mbak Lala!"

Sebuah panggilan bernada ceria yang kemudian berlanjut dengan terbukanya pintu kamarnya, membuat Lala yang baru saja selesai mencuci muka di kamar mandi, menoleh cepat dengan mata membulat.

Kaina muncul di ambang pintu, nampak sedikit terengah meski bibirnya melengkung sempurna membentuk seulas senyum. "Gimana seleksinya? Lancar, kan?"

Lala melengos. Sama sekali tidak mengelak ketika Ina bergerak duduk merapat di sebelahnya. "Lancar dong. Kan tadi pagi disemangatin sama kamu," katanya sambil tertawa kecil.

Ina mengembuskan napas lega. "Tahu nggak sih, Mbak? Aku langsung buru-buru pulang begitu selesai latihan tadi," katanya mulai bercerita. "Mbak Lala juga kenapa nggak bales pesanku sih? Kan bikin khawatir."

Lala meringis, tentu merasa tak enak hati. "Iya, iya. Maaf deh. Nggak sempet," sahutnya yang hanya disambut dengkusan oleh Ina.

"Dimaafin. Tapi nanti malam traktir martabak coklat keju."

Lala mendecak, pura-pura merajuk. Sementara Ina hanya menyengir lebar sambil memeluk tubuh Lala yang lebih mungil jika dibandingkan dengan Ina yang mewarisi gen bongsor dari almarhum ayahnya.

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang