BAB 21

129 20 40
                                    

BAB 21
Cemburu

***

Julian sejenak memantul-mantulkan bola voli di tangannya dengan napas terengah. Jersey abu-abu tanpa lengan yang ia gunakan sudah basah oleh keringat. Wajahnya pun sudah dipenuhi minyak dan nampak sangat kelelahan.

Tapi cowok itu tak peduli.

Seperti kesetanan, sekalipun kedua lengan bawahnya sudah samar membiru, Julian kembali berlatih pasing bawah sendirian sambil menghadap tembok di gedung olahraga itu.

Meski Julian jadi mendecak. Awalnya, cowok itu niat bermain voli untuk menenangkan diri. Tapi yang ada, Julian malah makin terbayang kalimat Mbak Riri ketika kemarin ia iseng berkunjung ke ruang kesehatan.

Hal yang tentu saja langsung mengundang kehebohan wanita muda itu yang sepertinya paling anti melihat Julian masuk ke tempat kerjanya.

"Kamu yang paling tahu dirimu sendiri, Ju. Jangan terlalu maksa. Mbak nggak mau lihat kamu nangis lagi kayak tahun kemarin."

Julian melengos. Lalu dengan gerakan asal mengayunkan lengannya hingga pantulan bola hasil passingnya berbelok tak tentu arah, memantul jauh ke sudut gedung olahraga.

Cowok bule itu menarik napas. Memilih untuk menyudahi latihan pribadinya dan berbaring telentang menatapi langit-langit gedung yang tinggi.

Hari ini, pelatih sebenarnya memberikan satu hari libur. Karena memang minggu depan, latihan intensif akan mulai dilakukan sebagai persiapan menghadapi porda.

Tapi bukannya jalan-jalan apalagi tiduran di rumah, Julian memutuskan untuk datang ke gedung olahraga. Cowok itu menggelar latihannya sendiri, berusaha melarikan diri seperti biasa.

Ada banyak kekhawatiran di kepala Julian. Bayang-bayang kegagalan tahun lalu ketika ia harus mundur dari tim inti karena cidera engkel. Juga bagaimana belakangan ini kaki kanannya mulai terasa sedikit berat. Membuat Julian tak bisa bersantai-santai.

Julian menghela napas. Perlahan mengangkat lengan kiri, lalu menutupkannya ke sepasang matanya yang tajam.

"A ... gue udah ada janji sama orang lain. Maaf ya, Yan."

Julian berdecak, sontak beranjak mendudukkan diri dengan raut mengeruh. Cowok itu mengacak rambut yang sebenarnya sudah berantakan, merasa kesal mendengar kelebatan suara Lala pagi ini ketika Julian mengajaknya main berdua.

Orang lain?

Julian berdecih.

Karena penasaran, sepanjang pagi tadi, Julian diam-diam duduk menunggu di depan jendela kamarnya. Tentu ingin tahu siapa orang lain yang Lala sebutkan.

Meski cowok itu tak bisa untuk tidak mengumpat ketika melihat Adam keluar dari mobil yang berhenti di depan gerbang rumah Lala. Mobil hitam familiar yang Julian kenal adalah milik Ardan.

Julian sebenarnya tidak masalah. Toh juga, bagi Julian, melepaskan Lala pada seseorang yang telah ia kenal luar-dalam seperti Adam, akan terasa jauh lebih melegakan daripada memberikan Lala pada orang asing.

Tapi yang Julian tak habis pikir, kenapa Lala tidak langsung bilang akan pergi bersama Adam?

Kenapa Lala seolah tak mau Julian tahu gadis itu jalan-jalan dengan Adam?

Kenapa Lala harus menggunakan kosa kata orang lain, alih-alih menyebutkan nama Adam?

Julian mendengkus. Cowok itu paham Lala pasti juga punya privasi sendiri. Tapi menurutnya, dekat dengan seseorang tidak termasuk dalam privasi yang harus disembunyikan dari sahabat sendiri.

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang