02. Harapan Kecil yang Konyol

28 3 0
                                    

Hal apakah yang menjadi harapan kalian?

Di pinggiran kota kecil dalam negeri yang tidak sepenuhnya damai, ada seorang anak gadis yang senang melakukan apa yang menarik minatnya. Anak itu memiliki harapan. Harapan kecil yang konyol.

Harapanku adalah ... agar aku bisa menghidupi diri dengan melakukan hal-hal yang kusenangi.

Sungguh harapan yang tidak realistis. Orang-orang tidak menganggapnya serius. Mereka pikir dia akan segera menyerah. Nyatanya, dia adalah orang yang teramat keras kepala. Harapan itu, ditambah dengan berbagai hal yang berbeda darinya, membuatnya dicap sebagai orang aneh. Hampir tidak ada yang mengatakannya secara langsung, tetapi ia tahu, banyak yang berpikir demikian.

"Astaga, nyebelin banget."

Dia sudah menerima bahwa dirinya adalah orang aneh. Itu bukan masalah besar. Masih berpegang pada harapan konyolnya, dia terus berusaha untuk membuktikan bahwa dirinya yang aneh juga bisa sukses. Walau adakalanya, seperti saat ini, dia terjatuh ke dalam gorong-gorong.

"Aku nggak bisa ... aku nggak mau ngapa-ngapain," gumamnya, menyenderkan punggung pada sandaran kursi. Kayu-kayunya berderit sebab sudah cukup berumur. Anak itu mengembuskan napas gusar, lagi-lagi mendengar bunyi akrab itu.

Sudah tahu benar apa yang harus dilakukannya, tetapi ia tak bisa. Dia perlu bekerja serabutan agar bisa mendapatkan uang untuk mengganti peralatan yang sudah mesti diganti. Dia harus melakukannya sembari menyelesaikan pendidikan, jalur pendidikan yang tidak biasa, cocok seperti dirinya yang aneh.

Diraihnya buku catatan kecil dari rak meja belajar, lalu dipandangi dengan tatapan pun pikiran kosong. Itu adalah buku yang dia gunakan untuk menuliskan daftar hal-hal yang harus dikerjakan, juga rencana-rencana tak jelas untuk ke depannya. Sebagian besar hanyalah omong kosong.

Merasa frustrasi, dia melempar buku itu ke kasur. Saat itu, sekilas ia melihat papan yang ditempeli kertas-kertas berisi omong kosong lainnya. Muak sekali rasanya sampai perut anak itu melilit. Sarapan dan makan siangnya ingin kembali naik, tetapi berhasil ditahan dengan baik. Itu tidak boleh terjadi. Terlihat menyedihkan adalah hal yang paling ia benci, apalagi kalau sampai mengkhawatirkan orang lain. Membuat mereka panik apalagi.

Agar orang-orang tidak khawatir, dia harus bisa sukses, dan dia ingin sukses dengan caranya. Sungguh kekanak-kanakan, bukan? Dia tahu. Dia sendiri yang paling tahu hal itu daripada orang lain yang hanya bisa menghakimi setelah melirik sekilas saja.

"Kayaknya aku perlu refreshing. Jalan-jalan sendiri."

Sendiri.

Merasa kesepian dan cemas akan masa depan pada saat yang sama tentu memberi sensasi yang tidak mengenakkan. Merindukan hari-hari yang sudah berlalu hanya memperburuk hal itu. Kadang penyesalan turut muncul.

Apa aku membuat pilihan yang salah?

"Ugh ...!" Anak itu menggerutu, menjatuhkan dirinya di atas kasur. "Aku gak boleh gini terus," gumamnya sibuk menarik ujung rambut.

Dia harus segera bangkit. Bagaimana pun caranya, dia harus kembali bergerak untuk memenuhi harapannya.

***

Memulai hari baru, anak itu berusaha untuk tidak meringkuk di atas kasur dengan ponsel pintar di tangan. Buku sketsa yang tergeletak di meja belajar dalam keadaan terbuka entah kenapa terlihat tak layak untuk dia sentuh, padahal itu miliknya. Halamannya masih banyak yang kosong; pensil dan penghapus berada di sampingnya. Tak sanggup ia raih meski berada tepat di depan mata.

Melenggang keluar dari kamar, anak itu memutuskan bahwa ia belum sanggup. Maka dari itu, ia memutuskan untuk melakukan hal lain.

Membuat kue biasanya membuatku senang. Mungkin aku akan merasa lebih baik.

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang