"Itu apa, Pak?" tanya bocah berambut ikal pada salah satu pengasuhnya.
Pria paruh baya bernama Erwin itu menatap si bocah dari atas. "Bapak lagi instal sistem canggih ini ke rumah kita, Rama."
"Sistem apaan?" tanya Rama lagi.
"Berisik, bocah kepo! Pergi main sana!" usir Hadji, bocah lain yang berusia satu tahun di atas Rama. Anak itu sedang membantu Erwin dalam instalasi sistem lampu otomatis Panti Asuhan Kasih Insani.
"Lemon basi sok ngatur," ejek Rama sebelum melengos pergi meninggalkan Erwin dan Hadji.
Bocah itu menggumam pelan. "Emang buah bisa basi?"
Erwin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, masih heran kenapa anak-anak yang sudah cukup lama bersatu ini masih doyan bertengkar. Kemudian ia kembali fokus pada pekerjaannya agar bisa selesai dengan segera.
"Pak, kenapa sih kami dikasih nama buah? Padahal kan, nama kami bagus-bagus. Masa dari Hadji diganti jadi Lemon?" tanya Hadji pelan, tak ingin mengganggu fokus Erwin.
Pria itu melirik Hadji sebentar, kemudian menjawab sambil melanjutkan pekerjaannya. "Setiap buah punya simbolisasi masing-masing, Hadji. Contohnya Chika. Dia anak yang selalu ceria, kan?"
Hadji mengangguk walau tak yakin Erwin sedang melihatnya.
"Bapak pernah baca, kalau buah anggur itu identik dengan keceriaan, cocok sama Chika, kan? Begitu juga Niko dan Niki. Pisang itu identik dengan persatuan karena selalu datang dalam satu tandan, mirip dengan Niki yang berpikir dewasa dan selalu menyatukan kalian sewaktu berantam. Sedangkan jeruk itu melambangkan keberuntungan, kayak Niko yang sangat beruntung punya kembaran sebaik Niki.
"Bapak enggak tau dari mana, tapi katanya nanas itu identik sama keramahan, cocok buat Rama yang bisa menjaga ucapannya sama orang-orang yang lebih tua dari---"
"Dia enggak sopan sama aku," potong Hadji cepat.
"Itu karena kamu kayak lemon yang asam lagi pahit, Hadji. Walaupun begitu, lemon identik dengan efek menguntungkan yang kuat. Makanya Bapak rasa lemon adalah buah yang cocok untuk kamu," Erwin menjelaskan dengan panjang lebar, kemudian turun dari tangga yang sejak tadi dipegang oleh Hadji, "nah, udah selesai! Makasih ya Hadji, bantuannya."
Hadji melepaskan pegangannya dari benda itu, kemudian bertanya penuh semangat. "Aku boleh coba sistemnya, Pak?"
Pria itu tersenyum hangat kemudian mengangguk.
Clap clap!
Setelah Hadji menepukkan tangannya dua kali, lampu ruangan di mana mereka berada seketika mati dengan otomatis. Ia menepukkan tangannya dua kali lagi, kemudian lampu menyala. Anak itu terkesiap, matanya berbinar.
"Keren banget, Pak!"
***
Malam ini para pengasuh sedang pergi keluar mencari stok cemilan yang sudah menipis. Anak-anak Panti Asuhan Kasih Insani yang mulai bosan memutuskan untuk bermain petak umpet di dalam rumah. Chika menarik Hadji dari kamarnya, memaksa si bocah pemarah itu untuk ikut bermain.
Mereka melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang harus berjaga. Hadji berdecak kesal kala dirinya adalah yang terpilih menjadi penjaga.
"Cie, lemon basi baru main udah jaga," ledek Rama.
"Enggak boleh gitu, Ram. Enggak baik. Kan Hadji enggak ada ngejek kamu," tegur Niki.
Sementara itu Niko mengelus punggung Hadji, seolah menyuruhnya untuk bersabar dan tidak memulai pertengkaran malam ini.
"Kuhitung sampai sepuluh. Sembunyi yang bener sana!" usir Hadji sembari mendekati tembok, kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua tangan yang ia lipat di sana.
Usai berhitung sampai sepuluh, ia memutar tubuh dan mulai mencari ke berbagai ruangan. Senyum tipis terukir di bibirnya kala melihat tangan mungil yang sedikit kelihatan di balik dispenser. Ia mendekati dispenser dengan berjinjit, ingin mengejutkan sosok yang bersembunyi di sana.
"Dor! Chika!" ucapnya sambil memegang lengan si bungsu.
Bocah itu terkejut dan berteriak pelan, kemudian tertawa. "Ih! Jangan kagetin gitu, lah!"
Hadji tersenyum, kemudian mereka berdua beralih mencari keberadaan yang lainnya. Beberapa menit kemudian, ia menemukan Niko dan Niki yang entah bagaimana bisa bersembunyi di dalam lemari.
"Kalian tunggu di sini aja, biar aku yang cari si Nanas botak itu," pinta Hadji, meninggalkan ketiga temannya yang kini duduk di sofa ruang tamu.
Usai mencari ke berbagai ruangan, anak itu tak kunjung menemukan sosok yang dicari. Hadji kemudian memasuki kamar, berpikir bahwa itu adalah satu-satunya tempat yang belum ia telusuri.
Baru beberapa langkah ia masuk, pintu yang tiba-tiba tertutup rapat membuatnya terkejut. Ia menoleh ke belakang, tak mendapati keberadaan manusia yang menutup pintu.
"Enggak lucu, Ram," ketusnya kesal.
Clap clap!
Suara tepukan tangan entah dari mana berhasil mematikan lampu yang awalnya menyala. Bulu kuduk Hadji meremang, ia berjalan mundur secara perlahan sambil menepukkan tangannya dua kali, menghidupkan lampu kamar.
Ia segera menyapu pandangannya, mencari keberadaan Rama yang mungkin masih bersembunyi. Satu hal yang pasti, sistem lampu otomatis ini hanya mematikan lampu di ruangan si penepuk tangan. Tidak mungkin lampunya mati jika tidak ada yang bertepuk tangan di sini.
"Keluar, Ram!" Hadji setengah berteriak, mulai ketakutan.
Clap clap!
Lampu mati.
"Apaan, sih!" Hadji berdecak kesal sambil bertepuk tangan kembali. Matanya membola kala melihat jendela kamar tiba-tiba terbuka setelah lampu menyala.
Clap clap!
Lampu mati.
"Cukup, Rama!" Kini ia berteriak, mencoba menekan rasa takutnya dengan emosi marah.
Clap clap!
Lampu menyala. Tapi, bukan Hadji yang menghidupkannya. Anak itu sudah pingsan kala wujud wanita bermata satu dengan mulut menganga lebar muncul di hadapannya.
🍀🍀🍀
Penulis: Karvinnn_
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 3 Tema: A Long Journey
Cerita PendekBuku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerpen keren dari para member FLC yang kece~