Hendaknya saya mencari tahu mengapa semua ini terjadi kepada Si Penyair Muda, ketika seharusnya dia terpuruk di balik selimut kegelapan yang dia sebut kehidupan dan di atas ranjang putih yang dia sebut realita. Apabila saya mencari tahu lebih awal, bukankah semua ini akan lebih mudah dimengerti? Bukankah kejadian ini tidak akan pernah terjadi? Bukankah saya punya kesempatan untuk menyelamatkan Shelby dari keterpurukan dan kesengsaraan?
Orang bilang, keingintahuan merupakan pedang bermata dua; beruntung jika kau memilikinya dan bencana bagimu apabila keingintahuanmu terlalu kuat. Saya tidak pernah menaruh kepercayaan saya pada kata-kata tersebut; bahwa keingintahuan bisa diubah menjadi senjata makan tuan yang cukup kuat. Mungkin, saat itu, saya merupakan apa yang orang-orang maksud dengan 'orang awam'; naif dan segala menghakimi mereka yang terjatuh dalam lubang tak berdasar yang dikenal sebagai ketamakan.
"Sedang apa?" Suara semanis madu itu mengetuk gendang telinga saya, disusul oleh suara dentingan piring yang bertemu dengan gelas di atas sebuah nampan plastik. Saya hapal betul nampan seperti apa yang selalu dia bawa; nampan plastik berwarna kelabu dengan sarapan kesukaan saya, segelas susu cokelat dan panekuk serta sedikit margarin yang dilelehkan di atasnya.
Saya memutar kursi duduk yang saya tempati, menghadapi belahan jiwa saya yang entah bagaimana bisa saya temui secepat ini. "Menulis jurnal harian."
Wanita di hadapan saya tertawa seraya menaruh sarapan saya di atas meja kerja. "Kamu selalu seperti itu, ya? Sangat puitis, bahkan dalam pekerjaanmu."
"Benarkah demikian, Sayang?" tanya saya dengan senyuman.
Istri saya tertawa kecil. "Hentikan bahasamu yang kaku itu. Aku istrimu, santailah sedikit."
"Saya pikir, tata bahasa saya sudah cukup santai kepadamu. Inginkah kamu apabila saya mengganti kebiasaan berkomunikasi ini?"
Kini, tatapan istri saya berubah menjadi sedikit terganggu. "Oh, tidak, Sayang. Tidak sama sekali," wanita tersebut berdeham kemudian melemparkan tatapan penuh emosi yang tidak bisa saya artikan, "aku menyukai caramu berbicara, sungguh. Itu unik dan membuatku merasa spesial karena tidak pernah ada orang lain yang berbicara seperti itu kepadaku sebelumnya. Namun, aku juga ingin kamu untuk tidak terlalu kaku terhadapku. Bukankah aku istrimu?"
Saya mengangguk sembari menatap sarapan yang istri saya bawakan. "Tentu, tentu saja. Apakah itu akan membuatmu bahagia?"
Istri saya kembali tertawa, kali ini terkekeh. "Menurutku, 'bahagia' itu kata yang berlebihan. Perasaan yang akan kurasakan lebih mengacu ke ... lega?"
Saya mengangguk. "Baiklah---maksud saya, oke."
Dia terlihat terhibur ketika saya mengatakan kata 'oke'. Sejak dahulu, Shelby memang wanita yang mudah untuk dibuat terkesan; mudah dibuat tertawa, apalagi tersenyum. Sejak dahulu, senyum dan tawa wanita di hadapan saya telah menjadi daya tarik yang membuat saya bertahan di mana pun saya menempuh jalan kehidupan.
Karena itulah, semua itu sepenuhnya salah saya. Namun, betapa mulia dan bersih hatinya ia, istri saya tidak pernah mengungkit kesalahan maupun menyalahkan saya atas apa yang telah saya perbuat.
***
Adakah ketika saya mendengar para pria itu berkata, "Hei, dengarkah kamu tentang legenda mantra tak bertuah yang dapat memberikan apa pun yang hatimu inginkan?" Saya menutup pintu berengsel karat yang saya sebut harapan? Tidak sama sekali. Adakah saya mempertanyakan semuanya? Adakah saya pernah berpikir untuk berhenti di situ dan ... lepas?
Tidak sama sekali.
Kala teman bicaranya menyahut, "Ramalan, maksudmu?" Di situlah saya mulai tertarik. Seolah tak ada hal lain yang dapat memenuhi pikiran saya, saya memutuskan untuk membiarkan informasi semu dan mentah memasuki tempat suci yang selalu saya agung-agungkan; akal sehat saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 3 Tema: A Long Journey
Short StoryBuku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerpen keren dari para member FLC yang kece~