04. Sepasang Cincin Karna Jupiter

29 3 5
                                    

"Pa, lihat langitnya sangat cerah hari ini, mungkin kita bisa melihat planet itu bersama lagi," ucap seorang anak laki - laki sambil memandangi langit malam.

Anak itu membuka jendela kaca dihadapannya perlahan. Membuat angin malam yang dingin masuk ke dalam kamarnya yang hangat. Walau kulit putihnya mulai memerah karna kedinginan, dia tetap berdiri di depan jendela sambil menatap langit.

"Papa pasti kedinginan," gumamnya pelan.

Dia berlari ke arah kasurnya lalu dengan terburu-buru mengambil selimut yang ada di atas kasur. Kaki pendeknya berjalan cepat menuju sebuah kursi rotan yang ada di ujung kamar tempat seorang pria tua duduk sambil tersenyum.

"Buan saja yang pakai, Papa tidak kedinginan kok," tolak sang Papa saat merasakan sebuah selimut menutup tubuhnya.

Anak laki-laki bernama Buan itu menggeleng cepat sambil menahan tangan papanya yang berusaha menarik selimut itu. "Buan bakal marah kalo Papa gak pakai selimutnya."

Dengan terpaksa papa Buan menerima selimut itu. Dia tersenyum ke arah Buan yang saat ini sudah kembali menatap langit malam. Mata kecil Buan berbinar terang saat melihat para bintang bersinar di langit. Kakinya yang masih kecil itu terus melangkah mendekati jendela, angin sepoi-sepoi terus datang menerbangkan bau minyak kayu putih dari tubuh kecilnya itu.

"Kalo Buan udah gede, Buan mau jadi astronot dan mendarat ke planet Jupiter," ucap Buan yang membuat papanya kaget.

"Kenapa di Jupiter? Buan gak mau ke bulan?" tanya papanya.

Buan menggeleng lalu menoleh ke arah papanya itu. Dia tersenyum menampilkan deretan gigi susunya yang ompong di tengah. "Bulan memang indah, namun Jupiter lebih indah. Planet itu punya cincin sama seperti yang dipakai mama dan papa."

Papanya menghela nafas berat, dia tidak bisa menebak pikiran anaknya yang berusia delapan tahun itu. "Buan, kalo mau cincin nanti papa belikan ya."

Buan menggembungkan kedua pipinya, pertanda jika dia sedang kesal. Tangannya yang kecil terlipat di depan dada dengan wajah yang memerah. Anak itu berbalik badan ke arah jendela dan kembali menatap langit malam. Kali ini dia memakai teleskop yang sudah sejak tadi berada di dekat jendela.

Papanya yang tahu jika anaknya itu sedang kesal karna perkataannya barusan jadi bingung sendiri. Membujuk Buan bukanlah hal yang mudah, bahkan istrinya sendiri kerepotan. Anak mereka memang sangat pintar namun juga sangat mudah marah.

Sudah satu jam Buan menatap langit sambil mencatat sesuatu di buku diary miliknya. Dia seperti menganggap jika papanya tidak ada di sana bersamanya. Pria tua itu menjadi tidak enak hati, dia tidak ingin meganggu anak laki-lakinya dan memutuskan untuk keluar kamar.

"Sebaiknya aku menunggu istriku untuk membujuk anak itu," gumamnya sambil membuat teh hangat.

Seorang perempuan tua terlihat memasuki rumah sambil membawa nasi kotak. Dia bergegas menuju dapur dan kaget mendapati suaminya sedang duduk di lantai. Dua cangkir teh madu yang masih sedikit hangat terlihat di atas meja.

"Pa, kenapa duduk di lantai?" tanya si istri pada suaminya yang masih duduk diam di lantai.

Tak ada jawaban yang dia dengar. Dia merasa khawatir jika suaminya ini pingsan, namun suara dengkuran membuatnya lega. "Dasar, papa malah ketiduran."

"Hm, mama sudah pulang," ucap suaminya sambil mengucek kedua matanya.

"Iya, papa mau makan? Aku membawa nasi kotak dari arisan," tawar istrinya.

"Tidak, aku tidak lapar," jawab si suami yang kini sudah berdiri.

Suaminya berjalan pelan ke arah kamar mereka. Namun baru beberapa langkah dia terhenti lalu menunjuk ke arah teh yang ada di atas meja. "Tolong berikan pada Buan, dia sedang kesal padaku. Dan satunya untuk mama."

Setelah suaminya masuk ke dalam kamar. Sulastri mulai membereskan dapur yang kotor karna ulah anak dan suaminya yang tadi siang belajar memasak. Dia menaruh lauk dari nasi kotak ke dalam kulkas agar tidak basi dan bisa di makan esok harinya. Sedangkan nasinya dia masukkan ke dalam penanak nasi elektronik.

"Nak, ini teh untukmu," ucap Sulastri di depan pintu kamar anaknya.

"Mama!" teriak seseorang dari dalam sana.

Pintu terbuka dan seorang anak laki - laki muncul. Dia dengan cepat memeluk tubuh mamanya kemudian menoleh ke arah teh yang dibawa mamanya itu. "Apa ini untukku?"

Mamanya mengangguk. Buan mengambil teh yang ada ditangannya lalu meminumnya dengan cepat. Setelah meminum teh dia merasa mengantuk dan pamit untuk tidur.

"Selamat malam, mama."

Di pagi harinya terjadi pertengkaran antara anak dan ayah. Sebab tadi malam Buan tidak makan apapun dia jadi lapar, namun saat pagi hari mamanya tidak membuat sarapan karna pergi menjenguk neneknya yang sakit. Papanya mencoba memasak telur namun Buan yang masih kesal tidak mau memakannya. Dan tanpa sengaja papanya itu berteriak ke arahnya karna sudah terlanjur marah.

"Papa jahat!" teriak Buan lalu berlari menuju pintu kamar.

Buan menahan lapar hingga siang hari. Dia pergi ke dapur diam-diam untuk mengambil makanan ringan. Namun saat melewati meja makan dia melihat rendang dan acar sayur. Tentu itu bukan buatan papa dan bukan mamanya pula.

"Kamu sudah makan?" tanya papanya yang tiba-tiba muncul. "Itu lauk nasi kotak semalam."

Buan mengangguk dan hendak pergi namun suara panggilan papanya menghentikan langkah kaki kecilnya. "Buan, papa punya sesuatu untuk kamu, kemarilah," panggil sang papa yang kini sudah punya rencana untuk membujuk anaknya itu.

Buan dengan langkah malas berjalan ke arah papanya. Walau di dalam hati dia sangat penasaran apa yang ingin diberikan oleh papanya. Setelah sampai di depan  papanya, Buan dikejutkan dengan sebuah kalung yang memiliki liontin kecil berbentuk Jupiter.

"Papa akan selalu mendukung impian Buan, walau itu adalah impian teraneh. Papa senang Buan ingin ke Jupiter. Karna cincin yang papa berikan untuk mama adalah buatan papa sendiri yang terinspirasi dari Jupiter," tutur sang Papa sambil megenggam tangan anaknya.

"Iya aku sudah tahu," balas Buan yang kini kembali tersenyum. "Papa dan mama bertemu karna sama-sama suka dengan Jupiter."

"Hahah, sepertinya mama menceritakan banyak hal padamu." Papanya terkekeh sambil mengingat kembali memori lamanya saat melamar istrinya.

"Coba sini aku lihat tanganmu," pinta Teo pada kekasihnya Sulastri.

Sulastri mengulurkan tangannya ke hadapan Teo dengan ragu. Tangan besar Teo meraihnya dengan lembut, lalu menyematkan sebuah cincin dengan ukiran planet Jupiter di jari manisnya. Membuat Sulastri kaget.

"Tanganmu cantik namun terlihat kosong. Kamu juga harus punya cincin sama seperti planet tercantik di tata surya," ucap Teo padanya.

"Mamamu sampai menangis tak henti - henti saat papa melamarnya."

Buan terkekeh sambil memakai kalung pemberian Teo padanya. "Dan aku akan berterima kasih secara langsung pada Jupiter karna sudah membuat papa dan mama ku bersama."

🍀🍀🍀

Penulis: cindi_cr

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang