01. The Demons in the Great Hall

40 4 0
                                    

TW: murder and violence (?)

***

Kucing itu menatapku lamat-lamat. Ah, tidak. Mungkin bukan menatapku, tapi kantong kresek putih berisi dua ekor ikan kakap yang ada di genggamanku.

Aduh, kucing. Kamu mau, ya?

Aku sih pengin saja memberikanmu satu ikan buatmu, tapi ini buat makan malamku dan adik-adikku. Jadi, maaf ya.

"Ollie, ngapain?"

Seseorang menepuk bahuku. Suaranya tidak asing, jadi aku berbalik.

"Oh, Jupi ...." Aku bergumam melihat sosok laki-laki berbadan bongsor di hadapanku. Ternyata benar, Jupiter.

"Dari tadi ngelihatin kucing itu mulu. Kenapa?" tanya Jupiter.

"Ah, enggak ... itu kucingnya yang lihatin aku dan ikan kakapku terus," jawabku jujur.

Mata bulat Jupiter beralih menatap kucing oren yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Kucing itu memang selalu ada di sini, ngelihatin orang-orang yang lewat bawa daging atau ikan," terang Jupiter. "Tapi tumben, dia enggak ngejar kamu. Biasanya dia selalu nyuri belanjaan ikan atau daging orang-orang yang lewat di pasar ini."

Mulutku membulat, lalu menggumam lirih, "Kayaknya dia takut sama aku."

Jupiter langsung menatapku lagi. "Tadi kamu bilang apa, Ven?"

Keningku mengernyit sebagai respons. "Tadi kamu panggil aku apa? 'Ven'?" Aku balik bertanya, bukannya menjawab pertanyaannya.

"Eh, sori. Aku salah ngomong."

Tapi reaksi dan gelagat Jupiter mencurigakan. Aku mencoba buat tidak memedulikan. Barang kali cuma perasaanku saja.

"Ya sudah, aku duluan, ya. Adik-adikku sudah menungguku di rumah."

"Oh, iya. Hati-hati ... Ollie."

Setelah Jupiter berkata begitu, aku segera berlalu.

***

"Kak, kemarin aku nonton TV."

Adikku yang bungsu, Oniel, tiba-tiba bersuara ketika kami sedang makan malam bersama dengan hidangan ikan kakap yang tadi kubeli di pasar.

"Iya, terus?" Aku merespons sebelum menyuapkan sesendok nasi ke mulut.

"Katanya, wabah 'raga kosong' yang beredar di desa sebelah mulai masuk ke desa kita," lanjut Oniel.

Tangan kiriku yang memegang sendok dan hendak terangkat, langsung turun lagi. Keningku mengernyit. "Hah? Wabah apa itu? Kakak baru dengar."

"Kakak sih, enggak nonton TV. Itu viral dari bulan lalu, tahu." Ovie, adik pertamaku, menimpali.

"Ya ... gimana mau nonton TV. Kakak, kan, jarang ada di rumah karena kerja bantu-bantu di kebun Bi Nani."

"Tapi, kata Bu Nani, Kakak cuma kerja sampai sore, sedangkan Kakak selalu pulang larut malam."

Jawaban Oniel membuatku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata dengan senyum dipaksakan, "Maaf ya, Kakak enggak bilang. Kakak sebenarnya ada urusan sampai malam. Jadi, enggak bisa pulang cepat."

"Iya, enggak papa. Kami tahu kok, Kakak pasti lagi kerja tambahan." Ovie balas tersenyum.

"Tapi, Kak ... Oniel boleh minta tolong enggak, sama Kakak?"

Kulihat raut Oniel berubah. Dia tidak lagi menyendokkan makanan buatanku ke mulutnya, sementara aku mencoba untuk tidak mengubah rautku.

"Minta tolong apa, adikku sayang?"

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang