04. Pancaka

97 6 4
                                    

Dulu ayahnya Radi sempat memiliki orang kepercayaan, Pak Jayapatra namanya. Beliau sudah mengabdi di keluarga Radi sejak ayahnya masih bujangan. Yah … bisa dibilang, Pak Jaya lah yang paling tahu jatuh bangun dan pergelutan dalam hidup ayahnya Radi, ketimbang ibunya.

Sudah hampir 12 tahun Pak Jaya pensiun, memilih pamit dan mengasing di desa terkucil untuk mencari ketenangan di masa tuanya. Tidak ada yang mendengar kabar hidupnya setelah itu, pun ayah Radi tidak mencari tahu. Tetapi, setelah kematian janggal ayahnya, Radi terpaksa mencari kebenaran, pembenaran, atau … misteri kelam yang Radi tidak pernah tahu busuk-busuknya. Selama ini yang ia tahu hanya kebutuhan yang selalu tercukupi dan harta yang tidak ada habisnya.

Radi menuntun langkah memasuki pekarangan rumah yang disinyalir sebagai kediaman keluarga Jayapatra. Rumah tak terawat yang tertutup pintunya, ada khawatir yang bersarang, tetangga bilang keluarga itu masih mendiaminya, tapi siapa sangka, kesepian mencekam ini tidak cocok untuk rumah yang masih ada penghuninya.

Radi mengetuk pintu, memanggil nama setelah ucap permisi. Ketukan diperkeras kala tidak ia dapatkan sahutan. Pada ketukan ketiga, langkah kaki diseret dari dalam membuka dahan pintunya.

“Siapa?” Wanita tua yang lesu memunculkan setengah wajah di balik pintu.

“Radi, Bu.”

“Cari siapa?”

“Pak Jayapatra ada?”

“Kenapa cari suami saya? Ada perlu apa?” Pertanyaan beruntut dibarengi dengan mimik wajah kaku yang berusaha mengontrol otot-otot menegang. Gagal. Matanya memerah menahan luapan emosi yang ingin luruh bersama air mata yang menggenang. Jemari pada pintu mengerat, Radi berteman rasa takut.

“Atas nama ayah saya … Pak Martalaya, saya datang kemari ingin menemui Pak Jaya, Bu. Jika diizinkan ….”

“Monggo, Den.” Bu Jaya membukakan pintu lebih lebar, uar bau apak dan bebungaan busuk menusuk hidung. Radi menahan napas, memaksa langkah masuk ke dalam rumah yang ditutup semua sumber pencahayaannya.

Bu Jaya menutup pintu, seketika gelap merayapi seisi rumah. Radi gelagapan, tapi berusaha menetralkan diri dan beradaptasi. Niat dia baik, hanya ingin silaturahmi dan membedah kebenaran dari janggal kematian ayahnya yang ia temukan.

“Kabar bapak baik, Den?” Bu Jaya memecah keheningan, kini mereka berdua duduk berhadapan di meja kayu yang debunya sudah mengerak.

“Ayah sudah meninggal, Bu. 2 minggu yang lalu.” Bu Jaya melotot, gerak-gerik anehnya membuat Radi khawatir. Tangan tua itu menggaruk lehernya hingga berdarah, Radi ngilu.

“Pak Marta … Pak Marta mendengar suara itu juga?”

Radi tidak paham.

“Suara apa, Bu?”

“Suara … suara dari neraka. Mereka banyak, memanggil namamu, kadang berbisik, kadang teriak, atau kadang saling bersahutan menyebutkan itu.”

“Menyebut apa, Bu?” Radi dirundung rasa ingin tahu. Otaknya kosong dari fakta-fakta sebelum ayahnya meninggal.

“Dia suka berbisik, Den. Kadang di telinga saya, kadang di telinga suami saya! Pancaka! Pancaka! Pancaka!” Bu Jaya nyengir, kursi Radi berderit mundur, dia cukup takut.

Radi mengamati dinding-dinding rumah yang banyak dilumuti rumah laba-laba. Secercah cahaya dari ventilasi menembak sorot pada banyaknya aksara jawa yang disusun bak mantra, pada kertas-kertas usang yang tertempel di dinding. Ukiran ayat gundul meliuk, membentuk pola manusia berbalut kafan. Gidik ngeri semarakkan pikiran, kala mata tertohok pada sepasang wayang tertutup kain putih dengan noda mengering, terpampang di meja sesaji.

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang