01. Warung Matahari

19 3 0
                                    

Di ujung kampung yang jauh dari bisingnya kendaraan dan hiruk-pikuk kota, ada sebuah warung yang tersembunyi di balik rimbunan bunga matahari. Warung ini berbeda dari warung-warung lainnya. Bangunannya terbuat dari kayu tua yang sudah mulai rapuh, tetapi di sinilah para petualang, orang-orang tersesat, dan makhluk-makhluk yang tidak pernah terduga akan mampir untuk sekadar bertanya arah atau melepas lelah. Ada seutas tali di pintu masuknya yang mengeluarkan bunyi lonceng setiap kali ada tamu datang. Lonceng itu terdengar seperti bisikan dari masa lalu, penuh kenangan yang tak pernah benar-benar hilang.

Anisa, seorang anak perempuan berusia sebelas tahun, menjaga warung ini setiap sore. Sejak matahari perlahan tenggelam hingga malam menjemput dengan kilauan bintang-bintang. Warung itu diwariskan dari ibunya, seorang wanita dengan mata yang selalu memandang dunia dengan harapan dan kasih sayang. "Mata adalah jendela jiwa," ibunya sering berkata. "Lewat mata, kita bisa melihat dunia yang lebih dalam, lebih nyata, dan lebih penuh warna."

Setelah ibunya tiada, Anisa mengambil alih warung tersebut, meski belum sepenuhnya memahami apa arti dari 'jendela jiwa'. Setiap hari, ia menyiapkan segala macam barang jualan-kue-kue kecil, kopi hitam, dan teh manis yang selalu menenangkan siapa pun yang meminumnya. Namun, warung ini juga menjual sesuatu yang lebih dari sekadar barang fisik. Ia menjual kenangan, mimpi, dan harapan.

Di dalam warung itu, dinding-dindingnya dipenuhi dengan gambar mata. Bukan sembarang mata, melainkan mata-mata yang pernah melihat hal-hal ajaib di dunia ini. Ada mata seorang pelaut tua yang pernah melihat lautan di bawah sinar bulan penuh; ada mata seorang gadis kecil yang menyaksikan tarian peri di hutan; ada juga mata seekor kucing liar yang pernah memandang cahaya bintang yang jatuh ke bumi. Setiap mata memiliki ceritanya sendiri, dan Anisa dapat mendengar cerita-cerita itu jika ia cukup lama menatapnya.

Pada suatu sore yang hangat, langit berwarna oranye keemasan, seorang tamu datang. Bukan tamu biasa, melainkan seorang pria tua dengan mata yang tampak kehilangan cahayanya. Lonceng di pintu berbunyi lembut, dan pria itu memasuki warung dengan langkah yang ragu-ragu.

"Selamat datang," sapa Anisa dengan senyumnya yang ramah. "Apa yang bisa kubantu?"

Pria itu menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke dinding yang penuh dengan gambar mata. "Aku mencari sesuatu ... sesuatu yang hilang dariku," katanya dengan suara serak.

Anisa tidak terkejut. Banyak tamu yang datang ke warungnya mencari hal yang hilang-entah itu kenangan, kebahagiaan, atau bahkan dirinya sendiri. "Apa yang hilang darimu, Pak?" tanyanya lembut.

Pria itu terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Cahaya ... cahaya di mataku. Aku pernah melihat dunia dengan penuh warna, tetapi sekarang semuanya tampak abu-abu. Aku tidak bisa melihat keindahan lagi, hanya bayangan yang kabur dan tidak berarti."

Anisa terdiam. Ia menatap mata pria itu, mencoba melihat apa yang ada di balik kelopaknya yang tua dan lelah. Namun, yang ia lihat hanyalah kekosongan, seolah-olah mata itu telah kehilangan jiwanya.

"Di sini, setiap mata punya cerita," ujar Anisa pelan. "Mungkin kaubisa menemukan kembali cahayamu lewat cerita-cerita mereka."

Pria itu menatap dinding, mencoba menangkap bisikan yang mungkin terselip di antara gambar-gambar mata tersebut. Ada sesuatu yang magis tentang cara mata-mata itu menatap balik ke arahnya-seolah-olah mereka tahu lebih banyak daripada yang ingin mereka bagikan.

"Apa kau pernah merasa terjebak dalam dunia yang bukan milikmu?" tanya pria itu tiba-tiba. Matanya masih terpaku pada salah satu gambar mata, milik seorang anak kecil yang tersenyum penuh rahasia.

Anisa merenung sejenak. "Aku pernah merasa seperti itu," jawabnya akhirnya. "Seperti berada di tempat yang tidak sepenuhnya aku mengerti, tapi aku juga tahu bahwa aku punya peran di sini. Seperti kauharus menjaga sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri."

Pria itu mengangguk pelan, dan senyum kecil terbentuk di bibirnya yang pucat. "Mungkin itu sebabnya aku datang ke sini," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Anisa. "Mungkin aku mencari jawaban di tempat yang tidak pernah kuduga."

Malam semakin larut, dan warung mulai diselimuti kehangatan lampu-lampu kecil yang menggantung di langit-langit. Cahaya mereka lembut, seperti bintang-bintang kecil yang mencoba menggapai mimpi-mimpi yang tak pernah terwujud.

"Apa kau mau secangkir teh?" tawar Anisa, mencoba membawa pria itu kembali ke dunia yang lebih nyata, meskipun hanya untuk sesaat.

Pria itu tersenyum lebih lebar kali ini, dan mengangguk. "Teh akan sangat menyenangkan."

Anisa dengan cekatan menuangkan teh dari teko besar yang selalu hangat di sudut warung. Aroma teh itu memenuhi ruangan, membawa nostalgia dan ketenangan. Ia menyerahkan cangkir itu kepada pria tersebut, yang menerimanya dengan tangan gemetar.

"Saat kau minum teh ini," kata Anisa pelan, "Ingatlah kenangan terindah yang pernah kau lihat. Biarkan matamu melihat dunia seperti dulu lagi, meskipun hanya sebentar."

Pria itu menatap teh di cangkirnya, lalu menutup matanya sebelum menyesapnya perlahan. Saat bibirnya menyentuh cangkir, cahaya samar tampak di sudut matanya. Bukan cahaya terang seperti matahari, melainkan cahaya lembut, seperti senja yang merangkul hari yang hampir selesai.

"Aku ingat ...," bisiknya, "Aku ingat warna-warna itu ... mereka tak pernah benar-benar hilang, hanya tersembunyi di balik bayangan."

Anisa tersenyum. "Cahaya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali."

Pria itu membuka matanya, dan untuk pertama kalinya, Anisa melihat kilatan hidup di balik kelopak matanya. Meskipun kilatan itu lemah, tetapi ia ada di sana, seperti api kecil yang mencoba menyala kembali di tengah badai.

Namun, saat pria itu hendak berbicara lagi, suara lonceng terdengar dari pintu, dan seorang wanita muda masuk. Matanya biru seperti langit di siang hari, dan senyumnya membawa ketenangan.

"Maaf, aku mencarimu," katanya kepada pria itu, suaranya selembut embun pagi. "Sudah waktunya kita pergi."

Pria itu menatap Anisa sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi hanya senyuman yang ia tinggalkan sebelum pergi bersama wanita itu.

Saat mereka menghilang ke dalam kegelapan malam, Anisa merasakan keheningan yang aneh menyelimuti warungnya. Ia menatap cangkir teh yang masih setengah penuh, lantas menatap dinding yang dipenuhi gambar mata. Salah satu mata kini tampak lebih hidup, lebih cerah, seperti telah menemukan kembali sebagian jiwanya.

Malam itu, Anisa duduk di balik meja kasir, menatap langit-langit dan bertanya-tanya: Apakah pria itu telah menemukan apa yang ia cari? Ataukah ini hanya awal dari perjalanan yang lebih panjang?

Selesai.

🍀🍀🍀

Penulis; akvbutterfly

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang