Pulang kerja biasanya menjadi momen paling ditunggu para pekerja, namun tidak berlaku untukku. Jika ditanya mengapa, atau kalian sudah mempersiapkan kalimat sindiran seperti “sok berdedikasi” untuk dilontarkan padaku, maka tidak masalah, karena tidak ada alasan mutlak untuk rasa kesepianku. Rumah akan menjadi tempat paling nyaman untuk menyandarkan penat, tempat pertama yang terlintas di otak kala memikirkan pulang, tapi bagiku rumah tak lain hanya gugusan pondasi semen yang dingin tanpa nyawa.
Memilih bermalam di kantor hingga larut malam, melebur diri dengan dokumen-dokumen yang bisa saja aku kerjakan besok. Yah, namanya kesepian, lebih memilih menyibukkan diri daripada sibuk dengan pikiran sendiri.
Seperti hari ini misalnya, aku terpaksa pulang lebih awal pukul 9 malam, tidak banyak kerjaan hari ini, jadi terpaksa aku harus bergelut dengan ranjang kosongku dan TV di kamar yang diputar terus-menerus.
Berjalan melewati deretan toko, memilih mampir sebentar untuk membeli pastri. Mengantri di belakang sepasang anak muda yang saling memberi rangkulan mesra.
“Sayang, aku mau yang Cookies and Cream,” rengek si gadis pada sang Kekasih.
“Maaf sekali, Kak, Cookies and Cream sudah kosong,” timpal si Penjaga Toko.
“Sayaaang ….” Si Gadis semakin rewel. Tak elak tatapan malasku tidak bisa berbohong.
“Yang ada saja ya, Sayangku,” bujuk si Lelaki merayu gadis manjanya. Si Gadis bersikeras, menghentak kecil dengan sandal karetnya.
“Maunya Cookies and Cream!”
“Cokelat nggak mau?”
“Ngghh.” Si Gadis menggeleng kuat.
“Red Velvet?”
“Apa, sih? Aku cuma mau Cookies and Cream!”
Si anak lelaki masih berusaha membujuk gadisnya. Ini lah kenapa kisah cinta remaja sukar diterima otak kolotku yang tiap hari isinya hanya masalah kerja. Muak, namun di sisi lain adegan di depanku ini menjadi pintu untuk kenangan-kenangan lama muncul kembali. Dulu, mungkin 7 atau 10 tahun lalu, saat aku masih seusia mereka dan baru mengenal indahnya cinta yang mekar.
Bertemu dengan Dewi saat mengantre toilet umum adalah pembuka perkenalan kita. Waktu itu kita masih mahasiswa, masih lincah-lincahnya ikut kegiatan di luar kampus. Kami menggerutu, kenapa panitia hanya menyediakan 2 toilet umum untuk ukuran acara besar yang dihadiri 1000 lebih peserta? Tidak disangka kita saling tatap dan terbahak, setuju dengan pemikiran kita yang saat itu sejalan. Dia mengajakku lari menuju rumah warga untuk menumpang kamar mandi.
“Aku malas kembali ke sana,” ujarnya kala itu, lantas memilih duduk di rerumputan pinggir irigasi. Aku ikut duduk, sama sepertinya, malas melanjutkan sisa acara.
“Sama,” timpalku. Dewi menatapku lalu terbahak lagi.
“Dari tadi kok, sama terus. Mahasiswa itu harus kreatif.”
Aku memandang Dewi yang masih tertawa pelan, senyumnya murah, jika aku punya uang ingin kuborong semuanya. “Padahal tadi kamu juga setuju waktu aku bilang acaranya bosenin.”
“Sedikit banyak iya, yang aku tunggu cuma konsumsinya.” Kami tertawa lagi.
“Dan sertifikat,” tambahku yang kian meramaikan tawa lepas kita berdua.
“Belum kenalan, ya? Aku Dewi, kamu?” tanyanya menyodorkan tangan.
“Jaka,” jawabku menyambut jabatan tangannya, lembut dan halus. “Ternyata … selama ini yang aku cari-cari, tuh, ketemunya di sini, ya?”
Dewi menatapku, bingung dengan yang keluar dari mulutku.
“Jaka Tarub mencari Dewi Nawang Wulan-nya. Ketemunya di pinggir kali lagi!”
Dewi tertawa lagi, sampai melepas genggaman kita hanya untuk menutup muka dengan telapan tangannya. “Ih, Jaka, kamu lucu banget.”
“Harusnya kalau lucu aku ikut ketawa, tapi kenapa aku malah jatuh cinta.” Aku dihadiahi pukulan, telak menghantam punggungku. Tawa Dewi semakin tak terbendung.
“Kalau kita Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan dunia modern, lantas apa yang kau curi dari aku?” Pertanyaan mudah yang tidak perlu Jaka pikirkan lagi jawabannya.
“Hatimu. Soalnya yang aku lihat, tanpa selendang pun aku sudah tahu.”
“Tahu apa coba?”
“Tahu kalau kamu itu bidadari,” jawabku dengan nada serius, tapi Dewi malah terbahak lagi. Padahal aku sedang tidak berbual.
“Astaga, Jaka, baru juga ketemu, sudah siapin 1001 jurus jitu merayu. Aku apresiasi, deh, usaha kamu. Soalnya buat aku ketawa terus.”
Belum sempat aku melanjutkan gombalan, yang kata Dewi disinyalir sebagai 1001 Jurus Jitu Merayu, dia sudah menerima telepon itu. Hanya telepon singkat, namun mampu memadamkan gairah asmara dalam hatiku.
“Wah, maaf ya, Jaka. Aku harus ke sana lagi, dicari pacar aku. Kutinggal dulu aman, kan?” tanyanya sembari bergegas berdiri dan membersihkan sisa rumput yang menempel di belakang celananya. Aku hanya mengangguk singkat, kemudian hanya memikirkan kebodohanku sepanjang hari. Karena sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Dewi, kecundanganku dulu menjadi penyesalan yang aku pupuk bertahun-tahun. Andai dulu aku berani, mungkin saat ini di rumah istriku sedang menunggu.
Terkurung dalam lamunan, aku tidak sadar jika sepasang remaja tadi sudah menghilang dari pandangan. Sebuah tepukan pada pundakku membuyarkan ilusi palsu yang mendadak terproyeksi dalam anganku. Aku menoleh ke belakang dan menemukan Dewi-ku ada di hadapanku.
“Maaf, Pak, jadi antre nggak, ya? Itu depan sudah kosong.” Ia menunjuk tempat sepasang remaja tadi berada.
Aku hanya mengangguk kaku, pertemuan yang tidak pernah terbayangkan selama bertahun-tahun. “De … wi?” lirih kusebut namanya.
Dia yang tadinya menimang si jabang bayi, menoleh padaku dengan tatapan sedikit bingung. “Bapak kenal saya?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Iya,” jawabku singkat dan disertai senyuman.🍀🍀🍀
Penulis: Chimonachie
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 3 Tema: A Long Journey
Short StoryBuku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerpen keren dari para member FLC yang kece~