03. Dicari: semua anggota winter young kecuali rio

56 7 10
                                    

Keringat mengucur di dahiku dan teman-temanku. Napas kami tidak teratur seperti baru saja berlari marathon berkilo-kilo meter yang padahal kami cuma diam di satu tempat saja, sambil menggerakkan jari atau tangan sesuai alat yang kami pegang.

Entah berapa orang di depanku yang berteriak dan menjerit; kebanyakan perempuan. Padahal bagiku ini seperti lagu untuk laki-laki meskipun bukan genre rock atau metal.

Aku mengedarkan pandang ke posisi paling depan yang lebih banyak mengerahkan suaranya dibanding tangannya. Dia yang paling percaya diri di antara kami berlima.

Selanjutnya ke posisi paling belakang. Entah kenapa dia tidak terlihat berkeringat walau suara hentakan drumnya agak memekakkan telingaku. Dia yang paling (anak laki-laki tidak mengatakan ini kepada sesamanya) kau tahu, memiliki wajah yang lebih.

Tak jauh di depannya ada orang paling misterius di dunia. Dia memegang alat musik tekan. Aku bahkan ragu dia penduduk asli planet ini atau kiriman dari Saturnus.

Terakhir agak jauh di sampingku namun sejajar dan alat yang kami pegang pun mirip, dia dulu temanku. Masa lalu yang sangat ingin kami lupakan.

Lalu aku sendiri, aku hanya memainkan gitar. Inginnya tambah masker karena kerap kali aku mengalami demam panggung. Tapi Junio selalu melarangku sambil marah-marah.

Dan momen ini, momen yang kupikir aku tak akan pernah bisa menggapainya sebab katanya ini tidak baik untukku, aku merasakan jantungku berdebar-debar hebat lebih-lebih dari sekadar bertemu pujaan hati.

Aku... impianku... benar-benar tercapai.

Tapi dengan cara curang.

"Bagaimana, performance terakhir kalian?" Manajer kami yang 'cantik' dan 'baik hati' tidak membiarkan kami mengangkat botol minum sedikit pun. Dia orangnya agak pemarah, mengharuskan salah satu dari kami mengalah dan menjawab pertanyaannya.

"Bentar, ah." Junio tetap menengguk minumannya yang disiapkan Winter.

"Keren." Aku yang menjawab, dan langsung menghasilkan tatapan semua personil. "Apa?"

Junio memandangku aneh. "Harusnya penonton yang mengatakan itu."

"Aku kan menonton juga."

"Fokus pada permainan gitar bodohmu saja." Junio kembali menengguk minum.

Winter tertawa. "Iya, iya. Rio memang yang paling menikmati penampilan ini."

Aku setuju dan sedikit berbangga diri.

"Oke, setelah ini aku traktir, ya. Pakai uangnya Junio."

Semua orang langsung bersorak kecuali yang namanya disebutkan barusan.

Dan sebelum dia mengeluarkan protes, manajer kami sudah menyahut duluan, "Sudahlah, kau yang paling kaya di antara kita, Jun."

Di restoran all you can eat, kami menempati ruangan privasi. Aku duduk di sisi paling kiri dekat pintu, di samping Winter. Perempuan itu selalu mengambil tempat paling tengah.

Setelah bersulang dengan soda dan jus jeruk sambil menyerukan sorakan tidak jelas, kami menenggak minuman yang lebih segar dan nikmat dibanding botol minum di bawah panggung tadi.

Ini bukan pertama kalinya, tapi aku selalu merasa seperti baru saja menyantap minuman dari surga. Meskipun aku bukan berasal dari keluarga miskin atau pun kaya, bagiku pesta makan besar seperti ini bagaikan mimpi. Sekali lagi aku memandang satu-satu kepada teman-teman bandku.

Namun dalam situasi berbahagia seperti ini pun, mereka masih saja bisu seakan di-mute oleh sutradara drama.

Aku mengetuk meja dua kali. "Hei, hei. Apa tidak ada yang ingin mengatakan sesuatu?"

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang