02. Perkara Merkucrit

24 6 0
                                    

Nyebelin.

Kondisi yang seperti ini tuh menyebalkan.

Bagi mayoritas--oh tidak, mungkin sebagian wanita merasa bahwa breakout adalah masalah yang serius dan menyebalkan pada kulit wajah. Seperti aku yang sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan terus misuh-misuh sebab jumlah jerawat di wajah sudah tak terhitung berapa jumlahnya. Soalnya, kenapa cuma bagian kening yang kinclong?

Kesal. Jangankan bertatapan dengan orang lain, bertatapan dengan diri sendiri di cermin saja sudah membuatku muak. Sedih, sebal.

Jadi awal mulanya karena aku berhenti dari produk perawatan kulit yang lama dan mulai menggunakan produk bermerk W yang ternyata tidak cocok. Saudariku menyarankan untuk menggunakan produk K yang memang ada varian khusus menyembuhkan breakout. Iya, aku membelinya. Harganya memang bisa dibilang tiga kali lipat dari skincare lama paket lengkap. Tidak masalah, aku butuh sembuh. Meski tidak sembuh total, sebulan sudah cukup mengurangi jumlah jerawat walaupun masih bisa disebut banyak.

"Kamu pakai apa, sih, Mes?" Anak tetangga, namanya Mawar, berbicara ketika kita tidak sengaja bertemu saat aku berkunjung ke rumah Mbah. Dia juga di sana, sekedar duduk-duduk bersama sodara yang lain sambil bergosip ria.

"Oh, aku pakai K. Kenapa gitu?" Aku bertanya balik, mulai punya feeling yang tidak enak.

"K-Anu Beauty?" Dia balik bertanya.

"Iya," jawabku singkat.

Dia terkekeh sambil menunduk, tangannya bergerak menutup mulut. Mataku memicing ke arah dia yang duduknya sangat tidak sopan, satu kakinya berada di atas meja dan posisi duduknya di kursi seberang. Dia kemudian berkata, "Percuma skincare mahal-mahal tapi muka kamu tetap jelek, ya, Mes?"

Tahan.

Tahan.

Mencak-mencak dan marah-marah tidak jelas itu tidak bagus dilihat. Kalaupun mau marah, tidak, aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri di banyaknya orang karena aku tahu sifat lawan bicaraku seperti apa. Pick me.

Aku tersenyum singkat. "Jelek-jelek gini ciptaan Tuhan. Kamu ngejek Tuhan?"

Dia berdecak. "Alah, kamu mah. Bercanda doang kali."

Dia tertawa. Tetapi masih tidak mau berpindah topik soal urusan wajah. Dia memamerkan tentang dirinya yang tidak pernah berjerawat, kulitnya putih glowing, mengkilap mulus di bawah cahaya lampu rumah Mbah yang hanya sepuluh Watt.

"Kalau aku gak butuh yang mahal-mahal sampai kayak Mesti lah, skincare aku malah cuma lima belas ribu. Mending yang murah tapi mujarab dibanding mahal tapi gak bagus, kan, ya?" Dia bertanya lagi, mencari validasi pada orang yang duduk di sebelahnya.

Aku tersenyum, lagi. Bukan karena mau manis-manis, tapi ini menahan emosi. Dia berlanjut dengan kalimat-kalimat membanggakan kulitnya yang kayanya tidak sensitif, apa adanya dengan perawatan seadanya karena memang lebih suka yang alami.

"Pfft." Aku menahan tawa.

"Kenapa, Mes?" Saudariku yang lain bertanya.

"Enggak, nahan kentut," balasku berbohong.

Alami katanya? Muka putih hasil krim durjana berbahan merkucrit saja bangga. Warna leher dan mukanya bagaikan tutup panci dan bokong panci. Aku tidak menyalahkan siapapun yang memilih cantik lewat krim durjana, itu urusan mereka. Tapi untuk kasus Mawar, yang aku benci itu mulutnya. Sekali lagi, dia pick me.

Aku hanya berharap, krim durjana yang dia banggakan membuahkan hasil tidak baik suatu saat di masa depan. Ingin aku perhatikan, seberapa lama cantik kinclong-nya bertahan.

Tak urung doa busuk yang mohon maaf sekali terceplos pada malam itu menjadi kenyataan. Ibuku memberi kabar bahwa Mawar baru pulang dari rumah sakit. Aku tidak terlalu kepo dengan urusan tetangga sehingga memang tidak tahu menahu tentang sakitnya Mawar. Dari ucapan ibuku, aku mengerti bahwa kayanya kulitnya mengelupas parah hingga akhirnya terkikis sampai berdarah-darah dan perlu dijahit akibat ada bagian kulit muka yang robek.

Oh, maafkan aku yang pendendam ini sehingga mendengar berita demikian aku malah bersemangat menjenguk. Meski dalam hati kasihan, tapi ada satu hal yang ingin aku sampaikan padanya sehingga tepat pada malam harinya, aku datang dengan membawa beberapa bingkisan dan menyerahkan pada ibunya Mawar sedang aku dipersilakan masuk ke dalam kamarnya.

Kulihat Mawar yang sedang duduk bersandar pada bantal yang disusun pada kepala tempat tidur, meringis memegangi pipinya yang diperban.

"Kamu sakit apa, Maw?" Aku bertanya.

"Ini perih banget. Kata dokter karena krim merkucrit." Dia menjawab sambil matanya berkaca-kaca.

"Yah, percuma skincare murah-murah tapi muka kamu jadi jelek, ya, Maw?" Aku berucap.

"MAKSUD KAMU APA NGOMONG GITU? MAU NGEJEKIN AKU? IYA, KAMU CANTIK. TAPI MULUTMU JELEK BANGET!" Aduh aku tertawa terbahak-bahak, sudah tidak bisa aku tahan lagi.

"Kok marah? Padahal itu kalimat yang sama persis plek ketiplel yang kamu ucapkan ke aku pas di rumah Mbah loh." Dia terdiam. Suara ringisan kembali terdengar dari mulutnya. Mungkin terasa sakit karena berseru nyaring begitu membuat mulutnya terbuka lebar dan berefek pada perban di pipi. Aku melanjutkan, "Kalau kamu gak suka dikatai begitu, kenapa ngatai orang? Kamu marah, kan? Berarti ucapan kayak gitu gak benar. Tapi kamu enteng banget mulutmu kalau ngerendahin orang. Terima karmamu, Maw."

"Apanya yang karma? Gak ada hubungannya!"

"Mukutmu jelek banget!" balasku, sama seperti yang sebelumnya dia ucapkan juga.

"Sialan kamu, tai. Pergi aja kalau cuma ganggu, tai." Mawar marah.

Aku terkekeh. "Iya, emang mau pergi. Toh aku datang ke sini bukan buat jenguk, tapi buat ngejek. Hahaha."

Seiring dengan langkahku yang menjauh dari kamarnya, aku masih mendengar dia yang menyerukan satu kata.

"Nyebelin."

🍀🍀🍀

Penulis: _restiqueen_

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang