01. Payung Putih

36 4 0
                                    

"Tunggu di sana, ya. Aku akan bawakan payung."

Hujan sudah semakin deras, hawa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Rasanya satu persatu orang di halte ini sudah menghilang. Mereka pergi entah menaiki transportasi umum atau berjalan kaki dengan menggunakan payung yang lebar. Sedangkan aku masih terdiam duduk di sini sendirian meski tahu langit sore perlahan menghitam.

Suara kicau burung gagak pertanda malam juga sudah terdengar. Lampu-lampu jalan menyala beriringan bersamaan dengan keramaian suara-suara kendaraan serta orang-orang berlalu lalang. Meski begitu, hujan tidak mau berhenti.

"Kamu gak mau pulang?" Seseorang yang suaranya amat aku kenali terdengar.

Aku mendongak. Tadinya aku bersandar ke tiang halte karena sedikit mengantuk. Kulihat seorang pria dengan jaket biru tua memegang payung yang sedang terbuka.

"Enggak. Aku gak ada payung." Aku menjawab seadanya.

Lelaki itu menghela napas dengan berat. "Udah, Sila. Ayo pulang."

"Aku gak ada payung."

"Sil, ini payung." Ia menyodorkan sebuah payung di tangan yang lain padaku.

Ah, dia membawa dua payung ternyata.

"Gak mau, Kak Ren."

"Mau ngapain lagi? Tadi alasan gak punya payung, sekarang udah punya payung tetap gak mau pulang?" Reno bertanya, ada kekesalan yang bisa aku tangkap dari suaranya yang meninggi.

"Aku gak mau pulang dengan payung darimu."

"Terus?"

"Aku nungguin orang. Katanya dia bakalan bawa payung ke sini." Aku menjawab.

Reno tampak semakin kesal, ia menggaruk kepalanya berkali-kali lantas berkata, "Nunggu pacarmu itu?"

Aku mengangguk. "Dia udah janji bakal bawakan aku payung."

"Udah cukup, Sil! Kakak capek!" Reno tiba-tiba berteriak. Suara teriakannya sampai membuat atensi pejalan kaki memandang kami cukup lama. Beberapa saat sempat mereka berhenti untuk menonton kalau saja Reno tidak meneriaki mereka untuk bubar.

"Aku mau nunggu dia, Kak Ren." Aku berucap.

"Enggak ada gunanya kamu nungguin dia, Sil! Udah cukup! Cukup! Ini udah satu tahun!" Reno, saudara sepupuku itu semakin menjadi-jadi emosinya. Ia sampai membuang dua payung ke sembarang arah.

"Aku mau menunggunya, Kak." Aku masih mengatakan hal yang sama.

"Aku capek gendong kamu selama satu tahun ini buat pulang dengan paksa. Cukup kamu nungguin dia, Sil. Dia gak akan datang." Reno semakin bersuara keras. Air mataku menetes detik itu juga.

"Dia pasti datang, Kak Ren."

"Enggak."

"Aku harus menunggunya, Kak."

"Dia gak akan datang! Astaga! Sialan!" Emosi Reno semakin menjadi-jadi. Aku bisa mendengar suaranya yang sekarang terisak. Ini bukan pertama kali aku melihat Reno menangis setiap kali menjemputku pulang sekolah.

"Dia pasti datang aku aku tungguin lebih la–"

"Orang mati tak bisa datang ke sini, Sil. Sadar! Sadar!"

Aku terdiam. Reno duduk di ujung halte yang lain, ia bersandar dan menyembunyikan wajahnya dengan berpaling mengarah tiang penyangga. Tangisannya sepertinya belum usai meskipun suara isakan tangisnya tidak lagi terdengar.

"Kakak gak kuat liat kamu kayak begitu terus. Kasihan papa sama mama kamu. Tolong ikhlaskan Dino. Biarkan dia tenang di alam sana." Reno menjelaskan.

Lagi-lagi aku terdiam.

Keheningan menyelimuti kami berdua. Ini seperti sudah menjadi rutinitas bagi kami. Aku yang ingin menepati janji untuk terus menunggu Dino yang hendak mengantarkan payung sebab aku mengirim pesan karena tidak bisa pulang akibat lupa membawa payung. Kejadian itu tahun lalu.

Aku tidak lupa ketika Dino datang dengan membawa payung berwarna putih di tangannya, ia melambaikan tangan untuk menyeberang ke halte tempatku menunggunya. Nahas, itu menjadi lambaian tangan terakhir yang bisa aku saksikan sebelum tubuhnya terpental jauh akibat dihantam keras oleh mobil yang melaju kencang. Aku menyaksikannya dengan jelas. Payung di tangan Dino yang awalnya berwarna putih bersih berubah menjadi merah darah.

Lagi-lagi ini sudah seperti rutinitas baru bagi Reno. Ia diminta papa dan mamaku untuk menjemput dari sekolah karena aku yang selalu duduk berdiam di halte tempatku menunggu Dino untuk terakhir kali.

"Dino, kamu udah janji ngasih payungnya ke aku. Bukan dilempar atau terlempar."

"Ayo pulang, Sil."

Aku tak menjawab saat Reno sudah membawaku ke dalam gendongannya dan membawaku pulang. Mungkin besok jika aku menunggu di halte itu lagi, Dino akan datang dengan payung putih bersih yang kuharapkan.

🍀🍀🍀

Penulis: _restiqueen_

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang