TW: sebenernya aku nggak tahu mau kasih tw apa. Tapi cerpen ini sepertinya bakal agak men-trigger, terutama buat kalian yang memiliki gangguan mental. Mohon dibaca saat mental sedang stabil.
***
Aku pernah punya harapan; harapan untuk sembuh total dan hidup selayaknya mereka yang normal. Tapi, mereka bilang, aku tak bisa sembuh. Aku harus menenggak beberapa tablet obat setiap hari seumur hidupku. Sehari saja tablet itu tidak kuminum, kepalaku akan terasa sakit sekali seperti dihantam; otakku tidak bisa berpikir jernih; tidak bisa terlelap sama sekali; bahkan tiap menit merasa mual seperti ingin muntah, tapi tidak bisa.
Aku muak. Pernah suatu saat, aku selalu menatap nanar tiap melihat bungkus obat yang harus kuminum tiap hari itu. Pernah pula, kubuang satu plastik berisi beberapa obat ke tempat sampah. Namun setelahnya, aku langsung dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuaku. Mereka bilang, kalau aku membuang obat-obat itu, aku akan makin lama untuk 'sembuh'. Dan mereka, akan terus mendesakku untuk segera 'sembuh'.
Aku tidak mengerti. Padahal, mereka sendiri yang memintaku untuk cepat lepas dari obat-obat sialan itu. Tapi ketika aku akhirnya memberanikan diri bersuara pada dokter, meminta untuk putus obat, mereka begitu marah. Apalagi, ketika dua minggu setelah putus obat, kesehatanku berangsur memburuk. Kepalaku terus-terusan terasa sakit sampai akhirnya aku berakhir di IGD.
Dan diagnosis dari dokter di IGD-lah, yang sempat membuat duniaku terasa hancur.
Skizofrenia.
Aku tahu itu. Gangguan mental yang tidak bisa sembuh, bahkan bisa bertambah parah seiring waktu. Saat itu aku kesal, juga marah. Aku tidak merasa aku mengalami halusinasi yang membuatku menjadi penderita skizofrenia. Tapi kata mereka, delusi dengar yang kualami tidak normal.
Aku sih, tidak peduli dan tetap percaya bahwa aku baik-baik saja. Namun, keluargaku tidak. Mereka marah, kesal, menangis. Mereka anggap aku gila dan tak waras. Bahkan ketika aku akhirnya melanjutkan rawat jalanku di salah satu rumah sakit jiwa di ibu kota, keluargaku tidak berkenan menemaniku. Agaknya mereka malu, memiliki anak tidak waras sepertiku.
Kemudian, setelah dua bulan aku rawat jalan di RSJ, akhirnya ibuku berkenan menemaniku untuk kontrol. Dan di saat itulah, untuk ke sekian kalinya, duniaku seperti hancur tatkala dokter memberikan diagnosis tegak kepadaku.
Bipolar.
Mulanya aku denial, begitu pun orang tuaku. Berkali-kali aku mencari validasi; tak mungkin aku mengidap gangguan mood dan emosi itu—maksudku, aku tak terlihat seperti pengidap gangguan mental, bukan? Pokoknya, bipolar atau bukan, aku yakin sekali aku bisa sembuh dan hidup normal selayaknya orang lain.
Namun, suatu ketika, kejadian yang kualami justru menambah kuat diagnosis dari dokter.
Saat itu aku sendirian. Aku lelah, meski aku tidak tahu aku lelah karena apa. Pikiranku kacau; kacau sekali. Aku merasa tak pantas ada, karena aku merasa tidak ada orang yang memedulikanku—tapi, ah, bukankah aku sudah terbiasa? Hidup dalam bayangan sampai-sampai kehadiranku tidak disadari oleh orang lain?
Ketika aku ingin bercerita kepada teman dan sahabatku, barulah aku menyadari ... memangnya aku mempercayai mereka? Lagi pula, memangnya mereka benar-benar menganggapku penting?
Setiap aku bercerita, mereka tidak pernah merespons dengan serius. Oh, tidak. Sebenarnya tak masalah, jika aku hanya ingin didengar. Namun, yang menjadi masalah, aku tak hanya ingin didengar. Aku membutuhkan beberapa kata-kata penenang, juga penyemangat. Tapi, aku hampir tak pernah mendapatkannya dari mereka.
Kemudian, aku kalap. Otakku tak bisa berpikir jernih. Kutenggak lima butir obat sekaligus. Pikirku, aku takkan mati. Tapi, ah ... memangnya, apa yang aku inginkan? Mati? Ataukah ... hidup? Apakah aku benar-benar ingin sekali raib dari dunia? Berharap semua orang melupakanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 3 Tema: A Long Journey
Short StoryBuku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerpen keren dari para member FLC yang kece~