03. Berkabung

27 6 2
                                    

Tiada siapa pun yang meninggal. Hanya diriku, yang terduduk di atas tempat tidur sambil meringkuk, pipi diapit kedua lutut dengan jemari tangan mengelus pucuk boneka.

Tiada siapa pun yang meninggal, tapi aku merasa sesak dan kehilangan. Memeluk diri sendiri tidak cukup mengobati. Air mata yang sudah jatuh tadi saja masih ingin jatuh lagi.

Bagaimana jika sedari awal aku tidak mempercayai ayah? Jika hasilnya seperti ini.

Aku bukan hanya mempercayainya, tetapi juga memberinya kesempatan. Meyakinkan orang rumah kalau ayah butuh dukungan emosional untuk kembali normal, harus dilibatkan dengan interaksi yang substansial agar dia tahu posisinya, sebagai ayah; sosok yang berwibawa dan bertanggung jawab.

Memegang amanah menjaga keluarga kecil yang dititipkan Tuhan padanya, bukan menghancurkannya.

Suara ketukan pintu beralih menjadi gedoran, namaku dipanggil-panggil sedari tadi. Padahal lampu kamar sengaja dimatikan, hari ini juga pekan libur, lantas kenapa orang-orang harus peduli dan mengetuk pintu teman sebelah kamar?

“Nara, buka dulu pintunya, plis? Aku tahu kamu di dalam.”

Oh, suara yang tidak asing, jelas bukan teman satu kos. Bahkan orang jauh dari kota sebelah repot-repot datang ke sini. Demi menjenguk atau ikut berkabung dini?

Aku beranjak, kaki tertatih menata langkah yang lunglai. Berjalan mendekati pintu dan membukanya sedikit, tampak di depanku pemuda dengan air muka yang sulit dijelaskan. Dia sedih, kesal, khawatir, merasa bersalah, semuanya bercampur. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya netra yang memberi berpesan, memerintah otak untuk membuat kesan.

Dia mendekapku erat, kepalanya menelusuk ke leher seakan membaui boneka kesayangan yang baru saja ditemukan di gudang tua. Tidak peduli dengan daster yang lembab sebab keringat, atau rambutku yang kusut berantakan, apalagi wajahku yang kumal nan sembab semalaman.

“Kamu masih punya aku, Nar. Ada aku. Cerita semuanya samaku, kita hadapi sama-sama,” bisiknya berulang-ulang. Menanam doktrin dosis tinggi yang buatku tenang, namun juga sakit bukan kepalang.

Aku meremas bajunya, kuat sekali, sampai tangan gemetaran. Dadaku naik turun saking sesaknya, suara parau bahkan sulit dikontrol meski bibir sudah digigit sampai bengkak.  Kakiku yang sudah tidak kuat menompang tubuh terpaksa bertahan di pelukan si pemuda, menjadikannya sanggahan fisik maupun batin.

“Ibu dan adik di rumah sakit, Lang, mereka koma. Ayah udah ditahan, bakalan masuk penjara pasti. Sementara aku di sini gak bisa ngapa-ngapain. Bodoh banget ya? Gak guna banget, ‘kan?”

Isak tangis semakin kencang seolah tiada hari esok, kutumpahkan semuanya sampai kepala berdenyut hebat. Diambang pintu aku meracau, memanggil nama Gilang entah untuk apa.  Sementara siempunya nama hanya diam, sembari mengelus punggungku.

“Aku capek tapi aku gak bisa membenci ayah, Lang. Aku sayang sama ibu dan adik, tapi aku juga gak bisa lihat mereka disakitin terus. Kenapa gak aku aja? Apa seharusnya aku putus kuliah dan pulang aja daripada gini? Gimana kalau sewaktu-waktu aku di sini tiba-tiba keluargaku semuanya meninggal di sana? Demi Tuhan, Lang, aku benci diriku sendiri.”

Semua rentetan pertanyaan itu tidak terjawab, dan tidak akan pernah dijawab. Karena aku tidak ingin tahu jawabannya, dan tidak akan pernah tahu.

🍀🍀🍀

Penulis: @Clynoqia

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang