03. Damai.

31 3 0
                                    

Sebagai orang dengan label buruk rupa sejak lahir membuatku menderita. Seseorang pernah berkata, "Jangan bersedih. Suatu saat pasti akan ada orang yang menerimamu dengan tulus."

Namun, apakah itu benar?

Sejatinya semua orang akan langsung mengejek dan menghina setiap melihat diriku. Lelaki ataupun perempuan sama saja. Pandangan mereka seakan mengutarakan sebuah kata, menjijikkan.

"Jangan khawatir, Nak. Harapanmu akan terwujud selama kamu mengikuti aturan yang kuberikan." Orang lain berkata demikian.

Apa aku boleh berharap? Namun, apakah benar ini adalah jalan yang aku harapkan?

Aku tidak tahu.

Pada waktu itu yang ada di pikiranku adalah menginginkan hal buruk berakhir. Itu saja. Aku sudah cukup merasa sengsara dengan kedua orang tuaku yang tidak mengakuiku karena terlahir cacat dengan wajah buruk rupa. Belum lagi tetangga, belum lagi lingkungan, belum lagi aku dibuang di usiaku yang masih belia. Hidup terlantar di jalanan sebagai pengemis demi mendapatkan uang recehan untuk ditukar sesuap nasi. Harapanku adalah terbebas dari kesengsaraan itu.

"Apa benar aku bisa terlihat cantik dengan itu?" Aku bertanya.

Orang yang sedang berbincang denganku waktu itu mengangguk. Ia adalah dukun sakti mandraguna yang bisa membuat harapan kliennya terwujud. Tentu dengan beberapa syarat yang akan diminta. Namun, apapun syaratnya aku sudah siap. Sebab aku pun sudah tidak tahan dengan kehidupanku sendiri selama ini.

"Tumbalkanlah laki-laki dalam keluargamu setiap tahunnya." Hanya itu yang diminta oleh Mbah Setno.

Aku mengangguk paham lantas pergi. Lelaki di keluargaku katanya? Aku tahu siapa yang perlu aku tumbalkan. Maka di hari yang sudah aku tentukan, aku meracuni ayah kandungku yang tak bertanggung jawab itu dan kepalanya kupenggal. Saat melakukan aksiku, jelas ibu kandungku ikut menjadi korban karena aku memasukkan racun ke dalam panci masakan ibu secara diam-diam.

Saat itu aku benar-benar tidak merasakan apa-apa. Hampa. Lagipula mereka langsung membuangku begitu saja tanpa belas kasihan. Melihat kematian mereka di hadapanku pun aku juga merasakan hal demikian. Tiada perasaan iba ataupun sayang.

Kepala ayah kupersembahakan pada Mbah Setno. Lelaki tua berjanggut putih dan sudah ubanan itu manggut-manggut serta memujiku. "Bagus. Dengan begini kontrak dengan makhluk astral sudah terjalin. Selanjutnya persembahkan kepalanya langsung padanya dengan ritual. Kamu harus selalu memenggal kepala lelaki dari keluargamu setiap tahun di tanggal 13."

"Jadi, apakah susuknya sudah bisa dipasang?" Aku bertanya.

"Berbaringlah di sana, Nak." Perintah Mbah Setno itu segera kulakukan.

Di pembaringan itu aku telentang, Mbah Setno mulai mengucapkan banyak mantra. Aroma-aroma kemenyan menguat di sekitar seiring dengan asap mengepul dalam seluruh ruangan. Rasanya aku ingin menjerit saat langit-langit ruangan tiba-tiba terbuka secara ajaib berubah menjadi langit hitam. Langit di atasku seakan terbelah, menampilkan gerbang besi dengan ukiran aksara yang tak bisa kumengerti  terbuka lebar-lebar. Dari tengah gerbang yang terbuka itu, muncul sosok kepala raksasa yang memiliki tanduk hitam. Sosok itu bermata merah mengeluarkan darah, hidungnya mancung menjulang, giginya runcing dan tajam, serta lidahnya terulur panjang hingga menjilat wajahku yang sedang terlentang.

Tubuhku tidak dapat digerakkan, aku juga tidak bisa memejamkan mata, suara juga enggan untuk keluar. Aku ketakutan.

Kalau saja Mbah Setno tidak berjaya, "Jangan takut, Nak Sri. Dia adalah makhluk penjagamu sekaligus yang akan mengabulkan harapanmu."

Aku ... tenang.

Dari mulut makhluk itu mengeluarkan sebuah jarum yang melesat menembus keningku. Pada awalnya terasa sakit dan memusingkan, seiring dengan makhluk itu yang menghilang. Ruangan di sekitarku pada akhirnya kembali menjadi normal.

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang