03. Kutunggu Dirimu di Halte

48 7 2
                                    

Aku sudah lama menunggu di halte ini.

Satu hari.

Satu minggu.

Satu bulan.

Satu tahun.

Bahkan satu abad pun, aku tetap menunggu dirimu yang tak kunjung datang menemuiku. Di bawah temaram cahaya bulan dan langit gelap, aku berdiri di depan halte sambil memakai payung merah guna melindungi diriku dari hujan salju yang turun lebat.

Seluruh tubuhku sudah menggigil kedinginan, sementara kakiku nyaris luruh karena tak kuat berdiri lagi. Namun, demi kau, apa yang tidak bisa kulakukan?

Aku sudah melalui masa-masa musim dingin ini selama seratus tahun sejak dirimu menghilang dibawa bus bertingkat dua itu. Sementara aku, masih setia menunggumu di sini; menanti bus tingkat itu kembali dan mengantarmu padaku.

Tidak terlewat sehari pun aku membayangkan dirimu yang berlari dan berhambur memelukku dengan senyum karamelmu. Namun, sepertinya, khayalanku harus bertahan sedikit lebih lama lagi.

Tapi, ah ... aku jadi teringat waktu pertama kali kita bertemu. Kamu menemukanku di bawah pohon yang terbaring dengan luka di sekujur tubuh akibat ulah manusia. Saat itu ekorku masih dua. Mulanya aku takut padamu; takut kalau-kalau dirimu seperti manusia lain yang hendak menyerang dan ingin membunuhku. Namun, kusadari bahwa dirimu amat berbeda.

Kamu menolongku, merawat lukaku yang cukup parah, memberiku makan dan minum, serta tumpangan yang amat aku butuhkan. Aku benar-benar tidak bisa menahan senyum dan tangis bahagiaku saat itu. Dan aku ingat, kamu sempat panik, tapi di saat yang bersamaan tertawa karena bingung. Ah, dirimu benar-benar lucu sekali.

Sebagai balas budi, aku akhirnya mengantarmu ke rumahku untuk bermain. Aku punya banyak buku di rak kebun yang luas dengan berbagai buah-buahan di dalamnya, serta lahan tempat dirimu bisa bermain dengan gembira. Aku juga punya permainan puzzle, rubik, balok, dan robot-robotan.

Aku ingat sekali kamu tersenyum amat lebar dan mengatakan bahwa aku adalah orang yang sangat baik dan menyenangkan karena mengerti kesukaan dirimu. Pokoknya, kamu juga bilang kalau aku adalah tipe perempuan yang kamu sukai.

Bagaimana hatiku tidak berdebar-debar jika seorang pemuda tampan dan baik hati sepertimu yang sudah menampungku ini berkata begitu?

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupku, akhirnya aku jatuh cinta pada seorang pemuda manusia yang telah menolongku. Tak segan-segan, aku bahkan menyatakan perasaanku saat itu juga.

Mulanya, kupikir terlalu dini bagiku untuk menyatakan perasaan. Pun, dengan dirinya yang belum tentu juga menyukaiku. Lagi pula, sebelumnya tidak ada manusia yang menyukaiku. Yang ada, aku ditakuti bahkan diburu. Ha, seperti tidak ada harga dirinya sekali aku ini.

Akan tetapi, sesaat setelah aku menyatakan perasaanku, kamu pun juga merasa hal yang sama!

Perasaan senang dan cintaku makin menjadi-jadi.

Aku menyuruhmu untuk tinggal bersamaku, tapi kamu mengiyakan dengan memberi syarat, kamu harus pulang terlebih dahulu menaiki bus tingkat di halte perbatasan. Saking mencintai dirimu, aku kepalang asal menyetujui, tanpa memikirkan bahwa sampai saat ini, aku masih harus menunggumu kembali.

"Kitsune."

Tepukan di bahuku yang terlalu tiba-tiba membuatku sontak menoleh ke belakang dan mendapati sesosok gagak berdiri dengan raut yang terlalu sering kulihat selama seratus tahun belakangan.

"Tengu." Aku mendesis.

"Ini sudah tepat satu abad dan kau masih menunggu manusia itu? Sungguh bodoh sekali."

Aku menulikan pendengeranku. Namun, sayangnya, sebuah suara yang juga tidak asing menimpali dengan tidak menyenangkan.

"Menyedihkan sekali. Seorang Kitsune yang telah mendapatkan kesembilan ekornya masih berharap pada manusia yang fana."

Aku mendesis lagi dan menatap tajam Tanuki.

"Kalian tidak perlu ikut campur, Bedebah," hardikku, lantas mengedarkan pandangan ke atas dan mendapati seekor naga hijau terbang tidak jauh dariku. Jari telunjukku sontak terarah padanya. "Dan ... Anda."

Aku menjeda kalimatku.

"Tuan Tatsu. Selama ini saya selalu pura-pura tidak tahu. Akan tetapi, saya tidak bisa terus-terusan bodoh selamanya." Kakiku yang berlapis sepatu bot kulit berjalan mendekatinya, sementara ia terbang merendah. "Anda pikir saya tidak tahu, bahwa Andalah yang menyuruh dia untuk kembali ke dunia manusia menggunakan bus antardunia?"

"Tempatnya bukanlah di sini, Kitsune. Dia tidak layak bersanding dengan siluman licik sepertimu yang hendak memakan jiwanya." Tatsu berkata dengan suara yang amat berat. "Terimalah fakta bahwa dia tidak akan bisa kembali ke dunia para siluman tempat kita hidup."

Aku menyeringai. "Bahkan ketika aku sudah mendapatkan kesembilan ekorku?" tanyaku, lalu terkekeh, menjatuhkan payung merah yang sebelumnya kugenggam.

"Aku akan pergi ke dunia manusia untuk mencarinya. Dia cintaku yang paling berharga. Tidak mungkin aku melepaskannya begitu saja."

Kesembilan ekorku yang berwarna putih dan semula kusembunyikan, kini tampak. Kulirik Tengu dan Tanuki yang memasang kuda-kuda dengan mata awas.

"Percuma saja, Kitsune. Sudah seratus tahun berlalu. Dia sudah mati." Tatsu melanjutkan ucapannya.

"Aku akan tetap mencarinya," kataku, lalu membalikkan badan. Bus tingkat yang pernah dia naiki tiba di halte. Aku segera menaiki dua anak tangga, kemudian masuk ke dalam bus sebelum Tatsu, Tanuki, maupun Tengu menghalangiku.

Tapi, ah, sial. Seringaiku makin lebar.

Kalau dia sudah mati, aku tinggal mencari mangsa baru, kan?

🍀🍀🍀

Penulis: Ravel_Zayc

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang