Musim panas sudah berada di penghujung. Memang siang hari matahari terasa begitu menyengat kulit. Namun, angin yang berembus terasa begitu dingin. Perpaduan amat panas dan amat dingin membuat tubuhku tumbang diterjang sakit. Demam, batuk, hilang tenaga hingga seharian hanya dihabiskan untuk rebahan di atas tempat tidur.
Di waktu malam, perutku keroncongan karena kelaparan, tidak ada siapapun di rumah dan lauk pauk sisa siang hari sudah tak menggugah selera. Melihat makanan di kulkas dan mataku menangkap beberapa butir telur ayam membuatku membayangkan telur mata sapi yang masih hangat pasti enak dimakan dengan nasi. Aku kepikiran untuk membuat telur mata sapi sehingga membawa dua butir telur.
"Mau juga?" tanyaku pada sosok lelaki yang sedang duduk selonjoran sambil menonton bola.
"Apa?" tanyanya balik.
"Telor ceplok."
"Kamu mau masak?" Dia bertanya. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutku tetapi anggukan yang kuberikan sudah cukup untuk membuatnya mengerti. Anehnya dia terkejut hingga spontan berdiri dari selonjorannya lalu berkata, "Kamu lagi sakit kok udah mau masak. Gak boleh."
"Tapi-"
"Mana sini itu telurnya." Dia memotong ucapanku yang belum selesai.
Aku tidak menyerahkan dua telur di tangan tetapi dia yang merebutnya. Pertandingan bola yang amat dia minati itu juga sudah tidak lagi ditonton. Sosoknya melenggang pergi masuk melalui pintu dapur dan aku mengekor ke sana.
Tangan lelaki itu tampak sibuk, mengambil wajan, menuang minyak, dan menyalakan kompor.
"Eh, itu kegedean apinya, Mas. Nanti gosong." Aku berkomentar, hendak mendekat tapi dia tahan dengan isyarat tangan yang melambai di udara.
"Duduk aja di sana, Tuan Putri. Kan masih sakit. Orang sakit gak boleh masak." Ucapannya membuatku kembali duduk di kursi sebelah meja makan. Lokasi meja makan memang bersebalahan dengan dapur tanpa pembatas.
"Aku yang mau duduk rasanya enggak tenang, Mas. Kamu kan gak bisa masak."
"Memangnya Adek bisa masak?" Dia tahu kalau aku memang tidak jago masak.
"Tapi cuma telur mata sapi aku bisa, Mas."
"Mas juga bisa."
Oke, deh. Aku diam. Kupercayakan telur mata sapi itu kepadanya.
"Aduh, aduh, kok gini?" Baru sekian menit tapi dia sudah mengeluh. Aku berdiri mendekat dan mendapati dia yang sudah membalik telur mata sapi tersebut. Sisi atasnya sekarang didominasi oleh warna hitam. Gosong.
"Apa kubilang? Aku saja dah, Mas."
"Gak boleh, Dek. Istri lagi sakit kok mau kusuruh-suruh."
"Kan ini gak disuruh? Aku mau goreng sendiri, kok."
"Gak bisa. Duduk aja di sana lagi, Tuan Putri."
Dasar keras kepala!
Aku kembali duduk di kursi tanpa suara, memerhatikan dia yang sudah gagal membuat telur mata sapi bahkan pada butir yang kedua.
"Gak usah khawatir, Dek. Yang gosong buat Mas aja nanti."
"Tapi itu dua-duanya udah gosong, Mas."
"Gapapa, Mas buat baru." Dia melenggang pergi, lalu kembali dengan membawa sekantong kresek kecil berisi butir-butir telur.
Dia sebenarnya mau membuat berapa?
Percobaan ketiga, gosong. Percobaan keempat, gosong lagi. Aku tertawa. Hingga pada butir telur kelima, dia berhasil.
Dia menyajikan nasi di atas piring dengan porsi sedikit karena tahu aku sedang tidak bisa makan banyak, lengkap dengan kuah dan telur mata sapi yang tidak gosong itu. Sedangkan saat makan malam bersama ini, dia menikmati empat telur mata sapi gosong sekaligus tanpa nasi. Sepanjang makan, dia terlihat batuk dan sering minum. Jelas, pasti rasanya tidak enak. Tetapi aku tersenyum lebar melihat dia yang tidak membuang-buang makanan dan menyantapnya hingga habis.
🍀🍀🍀
Penulis: _restiqueen_
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen 3 Tema: A Long Journey
ContoBuku ketiga dari Cerpen 3 Tema! Seperti biasa, akan ada 3 tema baru setiap bulan. Selamat membaca cerpen-cerpen keren dari para member FLC yang kece~