01. Halunatic

66 6 1
                                    

Raina, usia dua puluh dua tahun. Tidak lulus sekolah menengah, dan hanya mengambil sekolah paket.

Raina adalah gadis periang di usianya yang masih tiga belas tahun, tetapi begitu mengalami kekerasan sampai usia delapan belas tahun, dari sosok mama yang membesarkannya. Pikirannya mulai terguncang. Raina bukan trauma, tetapi memendam rasa benci dan sayang bersamaan. Mengapa? Fakta lain tentang dirinya yang bukanlah anak kandung kedua orang tuanya, terkuak di saat bersamaan.

Raina bertumbuh seperti manusia pada umumnya. Akan tetapi, jauh di dalam dirinya. Raina bagai manusia yang hidup diambang batas waras dan tidak. Janji-janji orang tuan yang ingin memupuknya sampai berhasil, bagai angin segar yang lalu begitu saja.

Jika saja Raina bisa mewujudkan isi pikirannya. Mungkin dia sudah tidak lagi bisa melihat matahari terbit. Sebab saat ini Raina termenung di sela-sela emosinya yang membumbung. Dia sangat marah sampai tidak bisa lagi mengekspresikan, seberapa ingin membuat satu penyesalan dalam hidupnya. Satu dari keempat adik angkatnya selalu membuat masalah dengannya.

****

Teriakan histeris Emma sangat menyekik paru-paru Raina. Mengikis kesabaran yang bahkan tidak setebal dinding rumah mereka. Raina tidak bisa lagi memahami situasi, siapa di sini yang bersalah?

Padahal di sini Emma yang sesuka hati, memakai barang-barang Raina. Tanpa permisi, bahkan kadang tidak mengembalikannya.

Dalam diam Raina memperhatikan Emma. Raina mengepalkan buku-buku jari tangannya, gigi-gigi bergemeletuk di balik bibir merah yang mengatup.

Emma masih saja terlihat emosi. Bahkan kini gadis itu sedang memegang gawai dan menelpon ayah mereka.

Raina benar-benar muak mendengar cara Emma menangis, seolah dia polos tanpa dosa dengan segala keegoisannya. Raina membenci sampai nyaris ingin mencekiknya saat tidur. Memalu kepala Emma dengan martil, atau memotong bagian-bagian tubuh Emma lalu memasukkan ke dalam karung. Bisa juga dimasak, dan diberikan pada hewan-hewan liar hingga tidak ada jejak atas aksinya.

Namun, Raina masih punya cukup kesabaran untuk bertahan.  Raina bukan tidak tahu apa yang selama ini Emma perbuat. Raina ingin menusuk mulut Emma dengan gagang pel yang pernah dipatahkan adik tirinya, agar tidak ada lagi suara cempreng yang menggelegar dan menyangkal setiap kesalahannya sendiri.

Raina ingin menjerumuskannya
ke lubang paling hitam, gelap, meruntuhkan setiap rasa tinggi hati dan mencoreng wajah cantiknya. Rasanya pasti sangat menyenangkan.

Lagi-lagi Raina hanya tidak bisa, dan tidak tega. Mungkin masih ada sisi manusiawi dalam dirinya yang berpikir itu hanya kenakalan dan sisi arogan seorang remaja.

Pernah suatu siang. Raina baru saja kembali dari pasar swalayan. Raina begitu sangat terhibur, mendapati Emma terbaring meringkuk. Penyakit bawaan dari Mama menurun pada Emma, sakit perut akut yang menghantuinya kambuh hampir menjelang pagi. Saat itu Raina sengaja tidak acuh, pura-pura tidak tahu dan menikmati perasaan aneh di hatinya, mendengar Emma meronta di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat. Adiknya berusaha menghubungi ayah yang sedang dinas di luar kota. Mama pun jarang di rumah, ikut juga bekerja saat tahu gaji ayah tidak cukup menutupi kebutuhan harian.

Rintihan Emma seperti nyanyian seriosa yang merdu bagi Raina. Tangisan Emma melengking yang memenuhi penjuru kamarnya, ibarat lelucon April mop paling payah sehingga Raina tersenyum, dan terkikik sambil melangkah menjauh dari pintu kamar Emma.

“Emma … Emma, makanya jangan belagu. Apa kamu bakalan kuat sampai besok pagi?” Raina berjalan ke luar rumah, mencari toko obat yang masih buka.

Sayang terbesit bayangan mama dalam benakku. Emma selamat karena dalam darahnya mengalir orang yang telah menyelamatkan Raina dari kesulitan dunia dan kekejamannya.

Meski Raina tidak menjadi produk berhasil, tetapi Raina ragu akan Emma—anak mama yang satu ini akan benar-benar berhasil? Ditambah sepanjang riwayatnya terlalu banyak bualan.

Siapa yang tahu, Raina adalah kakak tertua dari empat adiknya yang masih berusia belasan tahun. Raina cuma manusia yang berhasil bertahan sampai sekarang, dalam batas waras setengah gila. Raina mungkin tidak berhasil, berakhir bagai perompak diombang-ambingkan laut, sesekali ke daratan hanya untuk menghirup udara  berpasir dan panasnya terik matahari di daratan. Ingin mengeluh, tetapi bersyukur karena Tuhan masih memberinya napas.

Pada akhirnya Raina menghela napas. Dia memilih menjauh dari Emma yang masih meraung, memakinya dengan sebutan “Anak Pungut,” itulah yang sering kali Raina dengar, setiap dia bertengkar dengan salah satu dari keempat adiknya.

Jika saja Raina tidak memiliki hati lagi, mungkinkah rumah ini masih berpenghuni? Atau mungkinkah Raina memilih pergi saja?

Akan tetapi, Raina masih menjalani harinya seperti biasa. Sekarang Raina lebih banyak diam ketimbang ikut campur urusan keempat adiknya, dia memiliki dunianya sendiri. Tanpa adik dan orang tuanya.

Raina mengambil sisi positif dalam hidupnya. Jika saat masih bayi dirinya tidak diambil dan dirawat oleh Mama, apakah dia akan mampu berdiri dengan senyum yang masih ada sampai saat ini?
Atau dia akan berakhir menjadi gelandangan?
Sekarang Raina memiliki hati yang sekuat baja. Berkat mulut adik-adiknya, Raina mampu menahan diri dan bertutur kata lebih baik. Meski penyesalan ada pada asal-usul dirinya. Seandainya dia tidak dibuang, mungkinkah dia akan menjadi satu dari manusia yang berhasil?

End

🍀🍀🍀
Penulis: Fairyhope26

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang