"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya
Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ethan melajukan motornya seolah ingin melarikan diri dari semua yang ada di kepalanya, tapi semakin cepat ia melaju, semakin dalam rasa cemas itu menancap di hatinya. Jalanan malam yang sepi terasa seperti cermin bagi kekosongan yang ia rasakan di dalam dirinya. Marah—bukan hanya pada situasi ini, tapi juga pada dirinya sendiri. Ia telah mengabaikan orang yang paling berarti baginya, dan kini pikiran itu merobeknya dari dalam.
Rasa bersalah menghantui setiap detik. Tangannya bergetar di atas setang motor, dan jantungnya berpacu, bukan karena kecepatan, melainkan ketakutan. Ketakutan bahwa untuk pertama kalinya, dia mungkin benar-benar kehilangan Jenia. Bayangan Jenia yang sendirian di tepi jalan, menunggu dalam kegelapan, membuat napasnya tercekat. Ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Tidak malam ini. Tidak ketika dia tahu Jenia selalu ada di sisinya saat dia terjatuh, meski ia tak pernah memintanya.
Ethan memutar motornya dengan cepat, kembali ke tempat ia meninggalkannya. Saat sampai di sana, matanya langsung mencari—panik, cemas. Tapi yang ia temukan hanyalah kehampaan. Kosong. Tidak ada Jenia. Seakan tanah telah menelan sosoknya. Perasaan takut yang menggelayut di dadanya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih pekat. Ketakutan. Ketakutan yang menusuk langsung ke dalam hatinya. Ia memarkirkan motornya sembarangan dan berlari, mencari, berharap suara derap kakinya bisa menghapus kecemasan yang menyelimutinya.
Matanya liar, memindai setiap sudut. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Tubuhnya bergetar, tidak hanya karena udara malam yang dingin, tapi karena rasa takut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya—takut kehilangan Jenia, sosok yang selama ini ia remehkan dalam diam.
"Balik lagi?"
Suara itu, suara yang lembut tapi tegas, menggema dari belakangnya. Ethan langsung berbalik, tubuhnya menegang. Helm yang digenggamnya terjatuh ke tanah tanpa suara, dan di depannya berdiri Jenia. Masih di sana. Masih dengan sorot mata yang selalu menawarkan kekuatan, meski dirinya sendiri mungkin juga lelah. Rahang Ethan mengeras, tapi tidak bisa menutupi perasaan lega yang membanjiri tubuhnya. Ia tidak tahu apakah harus marah, menangis, atau hanya berdiri di sana mematung.
Jenia berjalan mendekat, tanpa terburu-buru, tapi penuh kepastian. Tatapannya lembut, tapi juga kuat—seperti selalu tahu kapan harus melangkah masuk dan kapan harus memberi ruang. Ia mendekati Ethan, yang masih terpaku, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Nggak apa-apa," ucap Jenia, suaranya seolah merangkul seluruh luka dan amarah Ethan dalam kehangatan yang tak pernah menuntut apa pun darinya. "Semuanya bakal baik-baik aja."
Dan di saat itu, sesuatu dalam diri Ethan runtuh. Bukan dengan cara yang keras, tapi perlahan, seperti dinding yang tak lagi kuat menahan beban yang terlalu lama ditopang sendirian. Bahunya turun, matanya tertutup, dan tanpa kata-kata, ia merasakan dadanya sesak oleh emosi yang tak pernah ia izinkan untuk keluar. Perlahan, ia menundukkan kepalanya, bersandar di bahu Jenia, membiarkan air matanya jatuh dengan sunyi, satu per satu, tanpa suara, hanya gemetar yang halus dari tubuhnya yang menandakan betapa lelahnya ia menahan semuanya sendiri.