Waypoint 19. Tiba di Ibu Kota

3 3 0
                                    

Bagi Arthur, Ibu Kota Kerajaan Arcadia — Herkom — adalah rumah keduanya. Semenjak diterima di akademi sihir, dia jarang pulang meski sedang libur semester dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di sini. Dia lebih memilih untuk memperluas wawasannya serta menambah pengalamannya dengan mengeksplorasi berbagai hal baru selagi dia masih memiliki kesempatan. Oleh sebab itu, ibu kota kerajaan meninggalkan banyak kenangan dalam diri Arthur.

Namun, tidak semua kenangan itu adalah kenangan bahagia. Faktanya, sebagian besar kenangan yang dimiliki Arthur merupakan kenangan pahit yang masih segar di kepalanya, seolah semua itu baru saja terjadi kemarin. Apalagi perpisahannya dengan ibu kota merupakan titik balik yang mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat.

Sejak hari itu, Arthur belum pernah menginjakkan kakinya kembali ke ibu kota. Ketika ia kembali ke tempat ini setelah sekian lama, dia bisa merasakan berbagai emosi bercampur aduk dalam dirinya. Dia merasa rindu bercampur nostalgia, amarah bercampur dengki, haru bercampur sepi, benci bercampur dendam, semuanya bercampur menjadi satu.

Ketika dia melihat dinding yang mengelilingi ibu kota dari kejauhan, dia sudah merasakan perubahan terjadi dalam dirinya. Arthur merasa pikirannya mendadak kosong dan ia merasa hampa. Lalu ketika kereta yang mereka tunggangi melewati gerbang pemeriksaan, dia cuma bisa diam membeku.

Arthur sendiri tidak tahu mengapa dia merasa seperti itu. Dia percaya bahwa ia telah menutup masa lalunya yang kelam dan memulai lembaran baru dalam hidupnya. Akan tetapi, rupanya trauma masa lalunya meninggalkan dampak yang lebih besar dari yang ia bayangkan.

Nona Charlotte menyadari keanehan pada perilaku Arthur tetapi tidak tahu apa yang mengganggunya. Kereta terus berjalan dengan kepala setiap orang penuh dengan urusannya masing-masing.

Dari gerbang terluar, kereta bergerak lurus menuju distrik niaga. Tujuan pertama mereka adalah toko kosmetik milik Nona Charlotte. Toko Nona Charlotte mempunyai banyak cabang di seluruh negeri. Bahkan di satu kota saja dia memiliki beberapa toko yang beroperasi. Namun, toko yang mereka tuju kali ini adalah toko utama sekaligus yang terbesar yang berada di dekat tembok pembatas menuju area bangsawan.

Setibanya mereka di sana, pintu kereta terbuka dan Nona Charlotte melangkah keluar. Dia menatap tokonya yang sepi karena memang sedang tutup, atau lebih tepatnya ditutup. Di depan toko banyak garis polisi melintang yang membuat gedung itu terlihat seperti sebuah TKP.

Sembari diliputi perasaan sedih, Nona Charlotte melangkah masuk ke dalam toko. Meskipun papan penanda toko bertuliskan tutup, pintu depan tidak terkunci. Dia dapat dengan mudah masuk hanya dengan mendorong gagang pintu.

Hal pertama yang menyambutnya setelah memasuki toko adalah pemandangan sepi tanpa satu pun tanda-tanda kehidupan. Dia bisa melihat etalase kaca yang memajang produk-produknya dengan rapi. Toko yang memiliki nuansa putih bercampur merah muda itu tampak terawat meski tidak ada orang di dalamnya.

Namun ketika Arthur berpikir tidak ada seorang pun di sini, seseorang datang dari dalam toko.

"Nona Charlotte! Selamat datang di Charm."

Charm, nama brand kosmetik sekaligus toko milik Nona Charlotte, dan orang yang menyambut kedatangan sang pemilik toko pastilah salah satu karyawannya. Dia adalah perempuan cantik yang kelihatan masih cukup muda meskipun memiliki aura orang dewasa. Dia mengenakan seragam pelayan toko bergaya french palace high neck blouse.

"Oh! Lulu. Kamu di sini rupanya."

"Ya, saya menanti kedatangan Anda."

Nona Charlotte tersenyum sedih.

"Aku sudah membaca suratmu. Tapi bisakah kamu jelaskan kembali situasinya dari awal hingga akhir tanpa ada yang terlewat?"

"Sesuai yang Anda inginkan. Tapi sebelum itu, mari kita pindah ke tempat yang lebih nyaman."

Kemudian mereka berpindah tempat ke sebuah ruangan dimana mereka memiliki meja dan kursi untuk duduk. Setelah menyeduh teh, Lulu ikutan duduk di salah satu kursi yang tersedia.

"Bisa kita mulai?" tanya Nona Charlotte.

"Ya. Semuanya bermula dari salah satu produk yang kita luncurkan baru-baru ini. Apakah Anda ingat produk krim malam terbaru kita?"

"Ya, tentu saja aku mengingatnya. Itu adalah produk yang kita keluarkan satu semester yang lalu atau sekitarnya, bukan?"

Lulu mengangguk, mengkonfirmasi jawaban Nona Charlotte.

"Sepertinya dalam produk tersebut terdapat suatu zat berbahaya yang dapat memicu penyakit."

"Zat berbahaya?"

"Ya. Ketika produk kita baru diluncurkan, seperti biasa orang-orang langsung membanjiri toko dan produk kita ludes terjual. Namun tidak lama berselang, mulai muncul wabah di kalangan bangsawan. Gejala mereka bermacam-macam, ada yang mengalami masalah penglihatan, iritasi kulit dan munculnya ruam, hingga gagal ginjal. Setelah ditelusuri, semuanya memiliki satu kesamaan : semua gejala itu muncul setelah korban menggunakan produk kita. Setelah mengetahui hal ini, pemerintah langsung melarang produk kita beredar dan mencabut izin toko kita. Tidak hanya itu, semua korban menuntut ganti rugi yang tidak sedikit. Tidak mengherankan, kulit wajah adalah harta paling berharga bagi seorang wanita, dan kita telah merusaknya."

Lulu mengakhiri ceritanya dengan sebuah senyum pahit. Dia kemudian mengeluarkan sepucuk surat dengan bagian atas amplop telah terbuka.

"Ini adalah surat pencabutan izin usaha kita."

Nona Charlotte mengambil surat itu dan membaca isinya.

"Meskipun sekarang cuma toko-toko yang berada di ibukota, mereka bilang akan menutup semua cabang toko kita dalam waktu dekat."

Mendapat pukulan bertubi-tubi membuat Nona Charlotte lemas. Pundaknya terjatuh dan tangannya terkulai. Bahkan dia tidak sanggup memegang sehelai kertas saat surat di tangannya melayang jatuh.

Lulu tidak kuasa melihat orang yang dilayaninya dalam kondisi menyedihkan dan memalingkan muka. Air mukanya terlihat seperti dia baru saja menelan pil pahit.

Setelah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam dirinya, Nona Charlotte membuka mulutnya.

"Besok aku akan mengurus masalah perizinan toko kita. Aku ingin istirahat sekalian menenangkan diri dulu hari ini."

Selepas mengatakan hal itu, Nona Charlotte berdiri dari tempat duduknya. Sambil sedikit terhuyung, dia berjalan keluar. Namun, ia berhenti sebelum meninggalkan ruangan.

"Dan juga terima kasih atas kesetiaanmu, Lulu. Aku tahu aku menunjuk orang yang tepat ketika menjalankan bisnis ini. Tapi, kupikir cukup sampai di sini," katanya sambil bersandar di kusen pintu.

"Tolong jangan berkata demikian!"

Kursi yang didudukinya hampir terjungkal ketika Lulu tiba-tiba berdiri.

"Saya senang bekerja pada Anda. Tidak peduli meskipun semua orang pergi, saya akan selalu berada di sisi Nona Charlotte. Saya akan melewati masa-masa sulit ini bersama Anda. Saya percaya pada Nona Charlotte. Anda pasti mampu melewati semua ini. Jadi saya mohon, jangan ucapkan kata-kata menyedihkan seperti itu."

Sudut mata Lulu mulai basah. Bibirnya terlipat saat ia menahan air matanya agar tidak mengalir.

Melihat pemandangan itu, Arthur yang berdiri di samping pintu tidak tahu harus berbuat apa. Dia tahu kalau dia tidak seharusnya terlibat, tapi tetap saja dia merasa salah jika hanya berdiam diri tanpa berbuat apa-apa. Arthur benar-benar merasa tidak pada tempatnya.

Nona Charlotte, yang semula hanya menolehkan kepala, memutar seluruh tubuhnya dan berjalan menghampiri Lulu kemudian memeluknya.

"Terima kasih. Aku akan mengusahakan yang terbaik agar Charm tidak ditutup."

"Nona Charlotte...."

Bibir Lulu bergetar dan ia pun meledak dalam tangisan. Sambil mengusap punggung dan belakang kepalanya, Nona Charlotte meminjamkan bahunya sebagai tempat bagi pegawai setianya untuk meluapkan semua emosi yang telah lama terpendam.

Di sebuah toko nan sepi, suara tangisan bergema menyayat hati.

TAOSC #3 - Side Character the TreasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang