Arthur dengan sigap menghalau anak panah yang mengincarnya dengan pisau di tangannya. Namun, hal itu mengakibatkan pisaunya hancur seperti remah roti yang berjatuhan.
Saat Arthur melihat ke arah datangnya anak panah, dia melihat seorang elf tengah membidiknya.
"Oh ya, aku melupakan mereka," ucap Arthur tak acuh.
Di dekat Edlin, terlihat anggota One for All yang lain. Beberapa di antaranya memiliki tubuh yang diselimuti cahaya putih kehijauan. Sepertinya mereka tertimpa reruntuhan dan sedang memulihkan diri dengan ramuan Desmon.
Berdiri di depan Edlin, yang masih membidik, Derorit berteriak padanya.
"Arthur, hentikan semua ini!"
Alis Arthur berkerut tidak senang. Dia berniat mengabaikan mereka pada awalnya. Tetapi setelah mereka memilih untuk ikut campur, dia pun dengan malas meladeni 'teman lamanya'.
"Kenapa aku harus menurutimu? Mereka saja boleh menyiksa kami, masa kami tidak boleh melakukan hal yang sama kepada mereka?"
Meskipun Derorit menjaga wajahnya tetap lurus, dia sebenarnya sedang berkeringat dingin di dalam. Menilai dari penampilan luarnya, Derorit yakin kalau dia sedang berhadapan dengan Arthur yang sama dengan yang ia kenal. Namun, di saat yang bersamaan, dia juga merasa sedang berhadapan dengan orang yang sama sekali berbeda.
"Aku mengerti kebencianmu. Tapi kau harus berhenti!"
"Tsk!"
Arthur semakin dongkol dengan Derorit yang terus-terusan sok menasehatinya. Aura hitam yang mengelilinginya sempat menajam namun segera kembali seperti semula.
"Tahu apa kau? Memahami kebencianku? Jangan bercanda," gumam Arthur pada dirinya sendiri.
Saat Arthur membuka mulutnya, hendak membalas kata-kata Derorit dengan kejam, seseorang mendahuluinya.
"Arthur! Aku tahu kau sedang menderita saat ini, tapi bukan begini caranya!" teriak Ayu yang masih tergeletak di tanah. Dilihat dari darah di sekitar kakinya, sepertinya dia terkena reruntuhan atau benda tajam lainnya dan masih belum bisa bergerak dengan leluasa.
"Apa yang kau bicarakan, Ayu? Bukankah kau sama denganku? Kita sama-sama membenci semua orang di negeri ini."
"Kau mungkin benar. Aku setidaknya pernah berpikir kalau lebih baik semua orang mati saja."
"Tuh, kan? Kalau begitu—"
"Tapi! Aku tidak lagi berpikir seperti itu. Setelah bertemu dan bertukar cerita denganmu, aku jadi melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Aku jadi lebih mensyukuri apa yang kumiliki saat ini. Aku juga lebih menikmati kehidupanku yang sekarang. Bukankah kau sendiri dulu yang bilang? Kalau kau tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentangmu. Kau tidak butuh seribu orang untuk mengakui keberadaanmu. Selama ada satu atau dua orang yang membutuhkanmu, itu sudah cukup menjadi alasan bagimu untuk terus hidup. Arthur yang seperti itu tidak mungkin melakukan semua ini!"
"Lalu apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan dengan semua dendam dan amarah yang selalu kupendam selama ini?!"
"'Balas dendam yang terbaik adalah menjadi versi dirimu yang lebih baik'. Bukankah kau juga yang mengatakan omong kosong itu dulu?" kekeh Ayu saat ia tertatih-tatih mencoba berdiri.
Desmon bergegas ingin memapahnya, namun Ayu menenangkannya dan mengatakan kalau dia tidak apa-apa. Semuanya melihat Ayu dengan wajah seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak ada satu pun kata yang terucap. Melihat Ayu yang berusaha tetap tegar saat ia jelas-jelas meringis kesakitan membuat hati Arthur terenyuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAOSC #3 - Side Character the Treason
FantasyApa yang menimpa Desa Zaggan telah mengingatkan Arthur akan wasiat terakhir kakeknya. Setelah membantu pembangunan desa baru untuk para penyintas, Arthur pergi untuk menyelamatkan teman-temannya. Apakah dia akan menyelamatkan teman-temannya yang dic...