"Kalau begitu aku serahkan budak-budakku kepadamu, Kak."
"Ya ya," jawab Walikota Toraus, Wendell Lax Elliot, dengan malas.
Tuan Wendell adalah seorang pria berusia empat puluh tahunan dengan perut buncit. Dia mengenakan pakaian modis yang sedikit menyamarkan kegemukannya. Rambutnya tipis dan sedikit botak di belakang.
"Apa sudah kau hitung jumlahnya? Jangan sampai kau nanti kembali sambil merengek mengatakan kalau uangnya kurang," sambungnya mendengkus.
"Cukup kok. Terima kasih sudah mau membeli budak-budakku dengan harga tinggi. Dengan ini Charm bisa pulih kembali."
Tuan Wendell sekali lagi mendengkus.
"Dasar. Kau memang perempuan yang aneh. Sudah enak-enak dilahirkan sebagai bangsawan, tapi kau malah nekat berbisnis. Kena batunya sendiri kan kau sekarang? Yah, tapi berkat itu aku jadi bisa hidup santai tanpa perlu bekerja."
Nona Charlotte tidak terpancing oleh hinaan kakaknya dan memilih untuk bangkit dari tempat duduknya.
"Kalau begitu aku pulang dulu."
Sebelum meninggalkan ruangan, dia berhenti di hadapan mantan budak-budaknya yang berbaris.
"Aku benar-benar minta maaf. Sebenarnya aku tidak ingin melepaskan kalian, tapi keadaan memaksaku melakukannya."
"Tidak perlu meminta maaf, Nona Charlotte. Sudah sewajarnya bagi kami — budak — untuk diperjualbelikan. Justru kamilah yang seharusnya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya karena telah memperlakukan kami dengan sangat baik," jawab salah seorang budak.
Air mata mulai membasahi pelupuk mata Nona Charlotte. Bibirnya terlipat, menahan air matanya yang memaksa keluar.
"Terima kasih."
Selepas melakukan perpisahan yang menyentuh, Nona Charlotte pergi meninggalkan ruangan.
Suasana seketika menjadi tegang ketika hanya menyisakan para budak bersama majikan baru mereka di ruangan. Nuansa haru yang baru saja memenuhi udara seketika lenyap. Bahu para budak melompat tatkala mendengar suara decakan lidah.
"Tsk! Dasar tidak berguna. Aku tidak butuh budak yang tidak bisa kuperlakukan sesuka hati."
Kalimat pembuka dari sang walikota langsung membuat mental para budak merosot.
Bagi budak, mendapat majikan yang baik hati sama halnya dengan mimpi indah. Tidak peduli seberapa keras kau berusaha, pada akhirnya hanya keberuntungan yang memutuskan apakah kau akan mendapatkannya atau tidak.
Di samping itu, semua mimpi pasti akan berakhir. Mereka yang berstatus sebagai budak tidak boleh lupa dengan kalung yang mengikat leher mereka. Jika mereka terbuai oleh mimpi yang begitu indah, mereka harus merasakan pahitnya kenyataan ketika mereka terbangun.
Dari sikapnya barusan sudah terlihat bahwa keberadaan mereka tidak diharapkan oleh Tuan Wendell. Tidak peduli bagaimana mereka berusaha untuk tetap positif, jauh di lubuk hatinya mereka tahu bahwa perlakuan yang akan mereka terima akan jauh berbeda dengan ketika mereka masih mengabdi pada Nona Charlotte.
*Krieet*
Bahu para budak kembali melompat ketika Tuan Wendell bangkit dari kursinya.
"Terserahlah. Aku akan mengurus kalian nanti. Aku ingin pergi bersenang-senang dulu."
Pintu tertutup dan Tuan Wendell meninggalkan budak-budak barunya begitu saja. Begitu sang majikan pergi, ketegangan ikut meninggalkan tubuh mereka bersamaan dengan kekuatan mereka. Sebagian menghela napas lega dan sebagian lagi langsung berjongkok karena lutut mereka sudah tidak kuat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAOSC #3 - Side Character the Treason
FantasyApa yang menimpa Desa Zaggan telah mengingatkan Arthur akan wasiat terakhir kakeknya. Setelah membantu pembangunan desa baru untuk para penyintas, Arthur pergi untuk menyelamatkan teman-temannya. Apakah dia akan menyelamatkan teman-temannya yang dic...